28

6.2K 369 1
                                    

Bunda Rosma membimbing Prilly untuk duduk disebuah kursi panjang yg ada dipanti.
Tangis Prilly belum selesai hingga ia akhirnya menceritakan semuanya kepada bunda Rosma, terkecuali tentang bagaimana Digo mencumbunya diapartemen kemarin.

Bunda Rosma menutup mulutnya dengan kedua tangannya, merasa prihatin dengan apa yg Prilly alami saat ini.

"Kenapa cuma Prilly bun yg harus kehilangan segalanya, kehilangan Papa, Mama termasuk Emilly dan sekarang-" ucapnya lirih sambil tercekat karna tangisnya sendiri.

Bunda Rosma mengusap air mata Prilly,
"Nak, disaat kita sedang merasa Tuhan memberikan banyak cobaan, ingatlah bahwa kita jauh lebih harus bersyukur karna Tuhan sendiri masih mengingat kita sebagai hambanya. Prilly tidak lihat, adik2 Prilly disana.."

Bunda Rosma menujuk anak2 panti yg sedang bermain sambil tertawa dihalaman.

"Mereka jauh lebih kecil saat ditinggalkan sanak keluarga mereka, mereka bahkan enggak tahu, siapa ibu dan ayah mereka. Prilly masih beruntung karna masih mengingat dan melihat wajah kedua orang tua Prilly kan?" petuah bunda Rosma membuat Prilly tersadar, ternyata benar apa yg di katakan bunda Rosma.

Prilly masih beruntung karna masih mengenal ayah dan ibu nya sebelum tiada, berbeda dengan anak2 dipanti ini yg sudah kelihangan kedua orang tua mereka sejak masih kecil, bahkan bayi. Rasa sepinya bahkan tak sebanding dengan anak2 dipanti ini.

Prilly kembali meneteskan air matanya, merasa sangat kecil dibandingkan anak2 yg ada disana.

Seorang anak kecil menghampiri Prilly dan Bunda Rosma, ia menghapus jejak air mata dipipi Prilly kemudian tersenyum dan menarik tangan Prilly untuk bangkit.

"Kak Prilly jangan nangis ya, nanti Lena sedih liat kak Prilly nangis." ucap anak kecil berponi itu pada Prilly.

Prilly tersenyum kemudian menghapus air matanya dan beranjak bangkit,
"Bun, Prilly boleh tinggal disini?" Bunda Rosma ikut bangkit berdiri dan mengelus kepala Prilly dengan sayang layaknya seorang ibu.

"Pintu ini selalu terbuka untuk kamu nak."
Prilly kembali tersenyum, kemudian berlari menyeimbangi tarikan dari Lena, si gadis kecil yg energik itu untuk pergi bermain bersama anak2 panti yg lainnya.

*
*
*
*

Hari sudah menanjak sore ketika Digo akhirnya bisa menetralkan denyutan rasa sakit yg terlalu bergemuruh dihatinya, kenyataan pahit ini membuat Digo terkejut, tidak! Bahkan sangat terkejut seperti tersengat aliran listrik dengan juataan volt yg mampu melumpuhkan syaraf2 motoriknya.

Digo mengusap batu nisan Emilly dengan perasaan campur aduk,
"Kenapa kamu pergi, sebelum kita ketemu? Aku bahkan belum sempet bilang, ak- aku, cinta sama kamu, Ily."

mata Digo sudah mulai panas kembali, air matanya kini mendesaknya keluar kembali. "Aku, belum siap kamu tinggalkan kaya gini Ly, aku belum siap" tubuh Digo kembali bergetar, tangisnya sudah tumpah kembali diatas gundukan tanah Emilly.

Digo masih menangis seolah air matanya itu tak akan pernah habis untuk menangisi Emilly.

Seseorang menepuk punggungnya pelan, membuat Digo mengadah untuk melihat orang tersebut.

"Percuma lo nangisin Ily, Digo. Dia gak akan pernah kembali." ucap seseorang yg merupakan Ray.

"Ray"
gumam Digo pelan, kemudian bangkit untuk berdiri dengan susah payah karna terlalu lama berlutut.
"Lo, kenapa tau Ily udah gak ada?" tanya Digo yg mulai tenang, seraya mengusap air matanya.

"Gue cari tahu kebenarannya." jawab Ray santai, tanpa menoleh pada Digo.

Kening Digo mengeryit bingung.
"Maksud lo? Lo udah tau Prilly bukan Ily?" Ray mengangguk, sebagai balasan.

We Found The LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang