44

2.4K 191 8
                                    

"Lepas katamu? Setelah perjuangan kita selama ini kamu mau aku lepasin kamu dan Zack gitu aja?" sahut Digo.
"Enggak! Dan nggak akan pernah!" ucap Digo lagi.

Sejenak Prilly merasa terdiam. Ia tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Sudah bertubi-tubi rasanya, rasa sakit yang keluarga Digo torehkan untuknya.

Ingatlah bahwa Prilly manusia biasa, ia hanya seorang wanita biasa yang bisa rapuh.
Sekuat apapun karang berdiri, ia akan terkikis jua oleh ombak yang menerjangnya. Lalu, apakah ia tak boleh rapuh saat ini? Saat dimana harusnya sebentar lagi ia bahagia?

Digo menarik tangan Prilly, mendekatkan wanita itu hingga ia bisa memeluknya.
"Maafkan sayang, kamu boleh marah pada Papi. Tapi aku mohon, jangan tinggalkan aku. Aku sungguh-sungguh nggak tau apa-apa" ungkap Digo jujur.

Digo bisa merasakan tubuh Prilly yang bergetar, perlahan Zack yang dalam gendongannya mengendur, memudahkan Zack untuk turun dari gendongan ibunya dan berlari menghampiri Marissca.

Tangis Prilly seketika itu pecah, dadanya terasa sakit dan terhimpit. Ia tak bisa menghirup udara merasakan sakitnya kenyataan yang baru saja terungkap.

Teringat kembali bagaimana bayang-bayang ayahnya dulu selalu membuatnya tersenyum. Namun  ketika tiba-tiba malam itu Prilly menemukan ayahnya meninggal gantung diri dikamarnya. Rasanya semua hancur.
Ibunya yang ikut shock akhirnya sakit, dan ikut menyusul sang ayah beberapa minggu setelahnya.

Penderitaan Prilly seolah tak ada habisnya, kesedihannya seolah menjadi hal yang biasa ia nikmati semasa kecilnya.
Setelah ditinggal Emilly, ayah dan ibunya pun menyusul. Belum lagi pamannya yang sengaja memasukkan nya ke panti asuhan membuat Prilly semakin menderita.

Setelah Prilly kecil dan remaja yang tak pernah mendapatkan kebahagiaan, apakah Prilly dewasa ini pun tak bisa mendapat kan kebahagiaan itu?

Prilly kembali terisak, tangis lirihnya menyayat hati Digo. Sudah cukup rasanya wanita itu mempunyai banyak luka dihatinya ulah ayahnya sendiri.

Digo sangat mencintai Prilly, jika Prilly menginginkan Digo untuk pergi darinya, maka ia tak sanggup lagi, apapun akan ia lakukan untuk wanita yang kini menangis,mencengkram lengan bajunya dengan erat.

Air mata Digo perlahan menetes begitu saja,sayatan luka hati Prilly tak seberapa dibandingkan lukanya

Jika luka Digo hanya segores kecil karna ulah ayahnya, berbeda dengan luka Prilly yang sudah menganga lebar penuh darah.
Dan Digo benci itu, ia benci kenapa selalu keluarganya yang terus menerus menyakiti wanita yang ia cintai.
"Menangislah. Aku minta maaf atas semua kesalahan Papa sama keluarga kamu. Tapi tolong jangan tinggalkan aku lagi." ucap Digo  bagaikan sambaran petir bagi Prilly. Ia jadi ingat alasan mengapa ia menangis dipelukan Digo saat ini.

Prilly melepaskan pelukan Digo dengan cepat, ia memandang bergantian wajah-wajah keluarga Digo dengan tajam.

"Dari kecil" kata Prilly lantang.
"Dari kecil aku selalu mendapat kebahagiaan dari kedua orang tuaku. Dari aku membuka mata, sampai aku menutup mata, mereka nggak pernah sekalipun ninggalin aku sendirian. Keluarga kami utuh, bahagia! Sampai akhirnya aku kehilangan adikku sendiri karna sebuah penyakit. Kebahagian keluarga kami terkikis sedikit demi sedikit. Kebahagiaan keluarga kami mulai goyah dengan berbagai macam musibah." tubuhnya mulai bergetar.

"Tapi kami kami selalu bisa melewati semuanya dengan baik. Perusahaan Papa hancur dikit demi sedikit. Perusahaan, yang Papa bangun dari Nol! Hancur begitu saja! Sampai akhirnya Papa putus asa dan memilih menyerah. Ia menggantung diri dengan sepucuk surat!" lanjut Prilly lantang meluapkan seluruh rasa emosinya yang ia tahan.

"Papa bilang, kalau kami harus tetap bertahan, Papa bilang bahwa ia menyerah dengan keadaan yang membuat kami nggak bahagia kaya dulu. Sampai akhirnya Mama ikut menyusul Papa karna ia juga merasa menyerah."
"Apa, apa kalian ngerasain gimana rasanya aku hidup sendirian bertahan saat itu? Sampai dimana pamanku sendiri membawaku kepanti asuhan karna ajakan istrinya yang menganggap aku adalah anak pembawa sial!" Prilly tak tahan lagi, rasa sesak didadanya harus ia tumpahkan saat ini juga. Tak perduli bagaimana orang-orang melihatnya dengan tatapan aneh dan iba.

"Apa kalian bisa bayangin gimana rasanya jadi aku saat umur aku masih 16 tahun? Hidup sebatang kara. Tanpa orang tua juga saudara? Tentu aku punya nenek di London. Tapi apa aku punya cukup uang buat pergi kesana waktu itu?"

"Jawabnya ENGGAK!. Kalian nggak tau gimana rasanya jadi aku! Kalian nggak tau gimana rasanya ada diposisi aku! Aku yang selalu disakiti disini!"

Dengan perlahan, Marrion mendekati Prilly.
Marrion menjatuhkan tubuhnya berlutut dibawah kaki wanita itu dengan semua penyesalan dimasa lalunya.

Entah setan apa yang merasukinya saat itu. Ia iri pada kesuksesan sahabatnya yang tak lain adalah ayah Prilly.

Berbagai cara ia lakukan untuk mengambil alih kesuksesan yang sudah Ferry raih. Hingga ia tak memikirkan anak-anak dan istrinya. Sampai akhirnya mendengar bahwa sahabatnya itu meninggal bunuh diri karna frustasi.
Disitulah mulai hidup Marrion tidak merasa tenang.

Sejak pertama kali bertemu dengan Prilly, Marrion sudah tau bahwa Prilly adalah bagian dari masa lalunya. Selama ini hidupnya selalu gelisah, ia sudah mempersiapkan jika bagian masa lalunya telah kembali dengan merestui hubungan Digo dan Prilly.
"Maafkan Om Prilly. Om-khilaf" ungkap Marrion dengan air mata penyesalannya berlutut dibawah kaki Prilly.
"Om tahu Om salah. Om terlalu ambisi dan iri pada kesuksesan Papamu. Sampai-sampai Om berbuat licik sampai Papamu frustasi. Om tidak memikirkan konsekuensi itu. Maafkan Om" ucap tulus Marrion.

Ada sebersit rasa tak tega dihati Digo mihat iba ayahnya yang kini sedang berlutut menyesali semua perbuatannya.

Prilly membuang wajahnya, rasa sesak didadanya belum juga sirna.
Ia tak tahu harus berbuat apa sementara hatinya sudah terlalu berdarah.

Prilly melihat Zack yang tengah berada dipelukan Marissca. Tatapan mata putranya sangat sendu menyayat hati Prilly.
Masa lalu itu kenapa harus datang disaat sebentar lagi ia bahagia?

Prilly menghembuskan nafasnya kasar. Ia menunduk mendapati Marrion yang tak juga mau bangkit dari acara berlututnya.

Diraihnya pundak Marrion, dan membantunya untuk bangkit.
"Hati Prilly sakit Om, sakit banget. Tapi Prilly bisa apa? Dengan membenci Om, nggak akan ngebuat Papa dan Mama kembali sekarang. Prilly cuma minta sama Om. Sayangi Prilly selayaknya anak Om sendiri." ucap Prilly memandang mata hitam milik Marrion.
Senyum mengembang dibibir Marrion. Marrion menarik kepala Prilly dan memeluk wanita itu dengan sayang.

"Om janji sayang, Om akan selalu menyayangi kamu selayaknya putri om sendiri. Maafkan om Prilly. Maaf untuk semua. Terima kasih sudah memafkan Om."

"Prilly sudah memaafkan Om. Membenci tidak akan  membuat semuanya jadi lebih baik kan?" sahut Prilly berlapang dada mencoba memaafkan dan melupakan semua rasa bencinya demi sang buah hati.

Prilly sudah dewasa, dan Zack patut mendapat pembelajaran yang baik darinya atas kejadiaan ini.

"Mommy!" seru Zack berlari menghampiri Prilly dan memeluk Prilly dengan erat.
"Jangan menangis Mommy. Zack takut" ungkap Zack.

Prilly membalas memeluk Zack. Ia tahu putranya takut melihat dirinya lepas control seperti tadi.
Ia tak mau membuat putranya itu bersedih apa lagi ketakutan melihat dirinya.
"Maafkan Mommy ya nak" ucap Prilly tulus.

Digo bernafas lega, ternyata Prilly tak terlalu berlarut-larut menanam benci pada keluarganya.
Bagaimana bisa Digo tidak mencintai wanita itu jika dihatinya sudah seperti malaikat tak bersayap.

Digo mendekati Prilly juga Zack. Dicium nya puncuk kepala Prilly dengan sayang.
"Terima kasih, sayang" ucap Digo tulus.
"Ekhem!!" tegur Marrion membuat Prilly dan Digo tersenyum salah tingkah.
"Bisa kita lanjutkan acaranya Prill?" tanya Marrion.

Prilly beralih menatap pamannya Tommy yang masih setia berdiri diambang pintu meminta persetujuan.

"Paman bisa apa kalau kalian sudah bertekat kuat. Paman juga pernah salah, dan kamu tetap mau memaafkan paman" sahut Tommy membuat semua orang disana tersenyum bahagia.
-------
Cincin bermata berlianpun Digo sematkan dijari manis Prilly. Begitupun sebaliknya terhadap Digo.

Semua orang yang berada disana bertepuk tangan bahagia dan dalam hati berdo'a tulus demi kebahagiaan mereka kelak.

Salut atas cinta mereka yang penuh dengan air mata dan semua cobaan yang selalu datang bertubi-tubi menghinggapi.

Bertahun-tahun berpisah, bukan membuat cinta mereka terkikis, justru membuat cinta Digo dan Prilly semakin kuat. Meskipun dibalut dengan air mata. Kini saatnya mereka menempuh kebahagiaan mereka yang sebentar lagi sempurna.

           

We Found The LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang