Chapter5

533 35 12
                                    

Ana dan Nata saling bertukar pandang, wanita yang telah makan usia ini melihat mereka secara bergantian.

Ratu, ketua yayasan sekaligus nenek dari Ana dan Damar mulai angkat bicara. "Ide siapa yang ngajak kalian untuk memanjat pagar?"

"Ide saya, Bunda Ratu," jawab Nata dan Ana secara bersamaan. Hal itu membuat Ratu semakin emosi.

"Jawab yang benar! Jangan permainkan saya!"

"Itu ide aku," jawab Ana.

Ratu menggelengkan kepalanya. "Ana, apa yang harus bunda katakan kepada orang tua kamu? Kamu pasti ketularan nakal karena berteman sama Nata."

"Nata nggak seburuk itu, Bun."

"Ana, kamu cucu yayasan. Seharusnya kamu bisa menjaga kehormatan bunda dan sekolah ini. Mau tidak mau, bunda harus menghukum kamu," kata Ratu dengan perasaan yang pasrah.

"Dan kamu, Nata. Saya nggak mau ngomong terlalu panjang sama kamu. Dari dulu kamu dan Ronald selalu saja cari masalah. Kalian akan saya hukum untuk membersihkan gudang."

Ana dan Nata mengangguk secara bersamaan dan pamit untuk keluar dari ruangan Ratu.

"Ana." Panggil Nata.

"Iya?"

"Sori ya, lo jadi kena hukuman."

"Santai," jawab Ana sambil menepuk pundak Nata.

Ana membuka pintu gudang dan mengambil sapu. Gudang ini sangat berantakan sekali, entah kapan terakhir kali gudang ini dibersihkan. Atau mungkin gudang ini tidak pernah dibersihkan sama sekali.

"Gue aja yang nyapu," kata Nata sambil mengambil sapu dari tangan Ana.

"Yaudah, gue cari pekerjaan lain."

"Ana, lo duduk aja disini." Nata mengambil bangku dan menyuruh Ana untuk duduk. "Gue aja yang bersihin gudangnya."

Ana tertawa kecil. "Gue bukan anak kecil, Nat."

Nata kembali memaksa Ana untuk duduk. "Bagi gue, lo kaya gadis kecil, gue nggak mau lo sakit."

Kalimat terakhir membuat Ana menjadi salah tingkah dan menundukan kepalanya.

"Jangan salah tingkah gitu, gue tau kok kalau gue itu ganteng, perhatian, lemah lembut dan cool," ucap Nata dengan pede. Ana memutar matanya.

Nata mengacak rambut Ana dan kembali membersihkan gudang.

"Wowwwww, ada yang pacaran di gudang!!" Teriak Ronald di depan pintu gudang. Nata langsung menjitak kepala Ronald.

"Jangan sok tau! Gue nggak pacaran sama Ana. Kita lagi dihukum gara-gara telat."

"Yaudah lah, nggak masalah kalau kalian jadian. Elo jomblo dan Ana jomblo. Apa salahnya? Siapa tau kalian jodoh."

Nata kembali menjitak kepala Ronald dan mengusir Ronald untuk pergi. Setelah itu, Nata kembali membersihkan gudang.

"Emangnya lo masih jomblo?" Tanya Nata meminta kepastian.

"Iya."

"Kalau seandainya Tuhan nulis takdir jodoh lo itu gue, lo mau nggak jadi pasangan hidup gue?"

Pertanyaan Nata berhasil membuat detak jantung Ana berdetak lebih kencang. Seketika, udara di dalam gudang terasa lebih sesak.

-------

"Sialan lo, untungnya gue bukan tipe perempuan yang gampang bawa perasaan atau baper gitulah. Bercanda lo kelewatan, lo bayangin aja kalau lo ngomong kaya gitu sama si Abel. Cewek cantik tapi tingkat pede dan geernya itu tinggi banget," jelas Ana sambil tertawa dan melanjutkan makannya di kantin sekolah.

"Gue pikir lo bakalan meleleh atau pingsan di tempat pas gue ngomong kaya gitu. Eh, tapi ada benarnya loh. Gimana kalau jodoh elo itu gue?" tanya Nata yang masih menggoda Ana.

"Gila gila gila, gue nggak bisa bayangin wajah bunda Ratu yang shock abis kalau dia tau pilihan hati gue itu elo. Dapetin hatinya bunda Ratu itu susah. Lo harus berusaha mati-matian buat ngeluluhin hatinya bunda Ratu. Seengaknya buat dia senyum sama lo aja susahnya minta ampun."

"Lo ngomong kaya gitu, seolah-olah kasih kode ke gue buat minta restu sama bunda Ratu. Jangan-jangan lo berharap gue pinang ya?" Nata kembali menggoda Ana dan membuat Ana tertawa.

"Idih enggak deh, semoga jodoh gue bukan elo. Sumpah! Gue nggak bisa bayangin kalau gue jadi istri dari seorang Nata Alditama." Ana menghentikan ucapannya dan meminum teh botol. "Cari topik yang lain aja. Gue udah capek bahas jodoh mulu."

Nata mengerutkan dahinya sambil berpikir.

"Gue tau pembahasan yang bagus."

"Apa?" Tanya Ana yang kepo dan sudah tidak sabar dengan humor yang dilontarkan Nata.

"Lo mau punya anak berapa?"

--------

Bel pulang sekolah sudah terdengar, murid-murid lebih antusias mendengar suara bel sekolah dibandingkan dengan suara bel masuk.

Ara berjalan melewati koridor untuk ke gerbang sekolah bersama teman kelasnya.

"Lo pulang sama siapa, Ra?" Tanya Ratu.

"Pasti dianterin sama Damar ya?" goda Aurel sambil mencubit pipi Ara.

"Enggak kok, gue pulang sendirian dan naik angkot. Gue nggak mungkin pulang bareng sama Damar. Emangnya dia ojek gue?"

"Ara, nggak masalah kalau Damar ngajak lo pulang bareng. Kayaknya sih dia mau pedekate deh sama elo," ucap Ratu dengan sok tahu.

"Gue jelasin ya, Damar udah punya pacar. Pacarnya itu teman SMP gue. Jadi Damar nggak mungkin punya niat pedekate sama gue," jelas Ara dengan mantap.

"Kalau misalnya dia udah putus sama pacarnya dan ngejar-ngejar elo, lo mau nggak?" tanya Aurel.

"Tergantung."

"Tergantung gimana?" tanya Aurel yang semakin penasaran.

"Tergantung gimana caranya dia perjuangin gue. Intinya gue nggak mau jadi korban rayuan dan gombalan laki-laki. Tapi nggak pernah dikasih kepastian hubungan yang jelas."

"Ra, ada Damar di depan gerbang. Kayaknya dia mau ngajakkin elo pulang deh," kata Ratu sambil menepuk pundak Ara.

"Ih, gue nggak mau. Kalian harus bantu gue buat nolak tawarannya Damar."

Aurel dan Ratu saling bertukar pandang dan tersenyum.

Damar tersenyum ketika melihat gadis yang ia tunggu sejak lima belas menit yang lalu sudah berada di depannya.

"Ara, pulang bareng yuk!"

"Gue bisa pulang sendiri kok."

"Kata bokap gue, jaman sekarang itu lebih banyak orang jahat daripada orang baik. Nah, coba lo bayangin kalau lo lagi naik angkot terus ketemu preman. Duh Ra, gue nggak mau bidadari gue diculik preman."

"Untuk saat ini gue mau pulang sendiri."

"Ara, lo lupa ya? Tadi lo bilang sama kita berdua kalau lo berharap bisa diajakin pulang bareng sama Damar. Kok sekarang malah nolak?" tanya Aurel yang mulai drama.

"Bahkan lo minta bantuan kita berdua buat kasih kode ke Damar kalau elo mau pulang bareng sama dia. Lo lupa ya? Padahal baru lima menit yang lalu."

Ucapan mereka membuat Damar tersenyum dan menatap Ara sambil memainkan alisnya.

"Ternyata elo tipe cewek yang malu-malu ya."

Ara menatap kedua temannya dengan tatapan kesal. Kemudian menatap Damar dengan tatapan memelas.

"Gue mau pulang sendiri."

"Oke, cuma untuk hari ini elo pulang naik angkot. Besok pagi gue ke rumah lo lagi ya," ucap Damar sambil mengelus rambut Ara.

Ara menghela napas dengan lega dan langsung menaiki angkot yang sedang berhenti di depan sekolahnya.

Perjalanan terasa mulus tanpa gangguan dan hambatan apapun. Hingga angkot berhenti disebuah warung kopi. Kedua mata Ara dan mata laki-laki itu bertemu. Terukir senyum dari bibir laki-laki itu.

Ara menepuk jidatnya dan mulai khawatir. Ia yakin, laki-laki itu pasti nekat untuk naik angkot ini.

Hati Untuk AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang