Chapter33

350 23 4
                                    

"Dih, kok bisa ya," ucap Ana setelah membaca pesan dari Nata.

"Kenapa, An?"

"Nih, lo baca aja sendiri," jawab Ana dan menyerahkan ponselnya pada Damar.

"Kok Ara nggak cerita sama gue?"

Damar membuang ponsel Ana ke arah tempat tidur. Membuat Ana berteriak dan segera mencari tahu kondisi ponselnya setelah dilempar.

"Ih, lo udah gila? Ponsel gue dilempar. Untung masih mulus."

Damar tak peduli. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Ara.

"Pacar lo juga punya privasi. Udah nggak usah nanya macam-macam, nanti juga dia cerita sama lo. overposesif banget jadi cowok."

Damar melirik Ana, memikirkan perkataan Ana. "Emang salah?"

"Menurut gue salah."

Damar kembali melirik Ana sebelum menaruh ponselnya di saku celana. "Yaudah, gue nggak jadi nanya."

"Mar," panggil Ana sambil menepuk pundak Damar berkali-kali.

"Masa gue cemburu. Wajar nggak?"

"Wajar lah. Elo kan pacarnya Nata."

"Ih tapi masa gue cemburu."

"Emangnya kenapa kalau lo cemburu? Wajar kali."

"Ih enggak ah, nggak boleh cemburu."

"An, gue pulang dulu ya. Lo nggak masalah gue tinggal sendirian?"

"Enggak, udah biasa kok."

Damar mengambil tasnya. "Kalau ada masalah, telepon gue aja."

Ana mengangguk dan mengantarkan Damar sampai ke halaman rumahnya. Tepat saat Ana ingin membuka pintu, ada suara ketukan dari luar.

"Nata?"

"Eh ada Nata, kebetulan elo ada di sini. Gue titip saudara gue ya," kata Damar. Raut wajahnya terlihat santai.

"Lebam di muka lo belum sembuh juga?"

"Oh ini, paling beberapa hari lagi udah ilang. Tenaga lo kuat banget sih."

Nata tersenyum sinis. Memberikan celah untuk Damar keluar.

"Lo kenapa deh sama Damar, nggak pernah akur. Pake acara mukul dia segala."

"Biasalah, namanya juga anak cowok. Masalah spele bisa jadi masalah besar."

"Eh iya, lo ngapain disini?"

"Lo nggak bales pesan gue, An. Makanya gue kesini. Gue takut-

"Takut kenapa?"

"Takut lo cemburu terus bunuh diri."

"Kampret lo!"

Ana membawa beberapa makanan dan sirup untuk Nata. Laki-laki itu sedang asik duduk di ruang tamu, menonton salah satu acara televisi.

"Lo mau sampai jam berapa disini?"

Nata melirik jam dinding. "Tau deh, males gue di rumah."

"Nat, lo ngerasa aneh nggak?"

"Aneh gimana? Jangan nakut-nakutin ah," jawab Nata sambil melihat sekeliling rumah Ana.

"Anjir, bukan itu maksud gue. Ini nggak ada hubungannya sama rumah gue."

"Terus?"

"Lo ngerasa nggak, kalau Ara bahagia pas lagi jalan sama lo."

Nata terdiam, melipat tangannya di depan dada. Kemudian jari telunjuknya menunjuk pelipis, seolah-olah ia sedang berpikir keras.

"Tau deh," balas Nata cuek.

"Gue serius tau."

"Ngapain deh bahas dia. Kayak nggak ada pembahasan lain aja. Dosa tau ngeghibahin orang mulu."

"Tau ah,"

"Eh, bawain sirup lagi dong. Kurang tau."

"Ambil aja kenapa sih sendiri di dapur. Kayak baru pertama kali ke rumah gue aja," jawab Ana sewot.

"Ini nih yang nggak gue suka dari elo, kalau omongannya nggak direspon langsung bete kaya gini."

"Gue masuk kamar dulu dah, mau rapihin buku pelajaran buat besok."

"Ikut dong, siapa tau kita khilaf."

----------

Nata melonggarkan dasi yang ia kenakan, menyeret tasnya dengan perasaan malas. Hari ini cukup melelahkan, membuat Nata ingin cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya dan tidur.

Ia sudah membayangkan betapa indahnya tidur di siang hari. Namun keindahan itu pupus ketika ia melihat seseorang yang duduk di tempat tidurnya sambil membaca novel.

"Nat, udah pulang?"

"Ngapain di kamar gue?"

"Nyokap lo nyuruh gue tidur di sini."

"Terus nasib gue?"

"Disuruh tidur di kamar atas."

Nata menghela napas berat kemudian bergumam. "Bikin repot."

"Apa, Nat?"

"Apanya yang apa?"

"Tadi lo ngomong bikin apa?"

"Bikinin gue makanan. Gue laper."

"Kata nyokap lo, delivery makanan padang aja. Tapi kalau lo maunya gue masakkin, nggak masalah. Lo mau makan apa?"

"Nggak jadi, gue mau tidur aja," ucap Nata malas dan merebahkan tubuhnya di kasur.

"Eh eh, kok tidur di sini?"

"Ini kamar gue. Suka-suka gue dong. Lo cuma tamu."

"Tapi-

"Santai, gue nggak bakalan khilaf sama lo. Kecuali kalau lo yang mancing."

Ara memukul kepala Nata dengan novel. "Otak lo perlu dibersihin tuh, biar jernih lagi."

Nata mengubah posisi tidurnya, ia menatap Ara. Memainkan jari Ara.

"Ngapain sih?" Tanya Ara risih.

"Iseng aja," jawab Nata santai.

Ara berusaha untuk bersikap normal, seolah-olah perlakuan Nata tidak berpengaruh apapun terhadap diri Ara. Tak berapa lama kemudian, Nata mengubah posisinya lagi. Ia duduk di samping Ara. Menggenggam tangan Ara.

"Gue sayang sama lo," ucap Nata.

"Gue juga, Nat," lirih Ara jujur.

Nata tersenyum, mengusap pipi Ara dan pada detik berikutnya, bibirnya bersentuhan dengan bibir Ara. Tidak ada yang ingin menghentikan hal tersebut terlebih dahulu. Keduanya terlarut dalam pikiran yang sama.

"Nat, nanti jangan dateng ke rumah ya. Gue mau pergi sama Rina."

Suara itu membuat Nata dan Ara terkejut. Mereka mengalihkan pandangannya ke sumber suara.

"Ana?"

Ana tersenyum tipis. "Udah sih, gue cuma mau ngomong itu aja. Yaudah, gue tinggal dulu. Sorry ganggu waktu kalian."

Nata beranjak dari kasur dan menghampiri Ana. "Ini semua nggak kaya yang lo pikirin, An. Gue bisa jelasin semuanya."

Ana menggelengkan kepalanya. "Udah ya, gue pulang dulu. Udah ditungguin sama Rina."

Nata berteriak kesal, memukul dinding kamarnya berkali-kali. Menyebabkan tangannya berdarah. Sementara Ara terdiam, ia tak tahu apa yang harus ia katakan dan ia lakukan.

----

Males sebenarnya mah buat part ini-, wkwkwk

Hati Untuk AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang