Chapter20

366 29 1
                                    

Ana sibuk mencari novel yang sedang ia incar. Ia terus mencari ke segala rak buku. Hingga akhirnya ia menemukan novel yang sedang dia incar.

"Dapat!!!" Ucap Ana dan seorang perempuan secara bersamaan.

"Loh, Ana?"

"Hai, Ra. Lo disini juga?"

Mereka berdua tertawa.

"Iya, gue mau beli novel Andara. Elo sendiri mau beli apa?"

"Gue juga mau beli novel Andara."

"Elo pecinta karya kak Amel?"

-------

"Novel favorit karya kak Amel yang paling lo suka itu apa?" tanya Ara sambil melihat menu makanan di cafetaria.

"Kaktus. Kalau elo?"

"Kalau gue lebih suka sama cerita yang judulnya Elang."

"Elo pergi kesini sendirian?"

Ara mengangguk. "Biasanya pergi sama Damar. Tapi hari ini dia lagi sibuk latihan basket. Katanya mau ada tanding basket lagi."

"Seorang Damar nganterin perempuan ke toko buku?" tanya Ana tak percaya.

"Emangnya kenapa, An?"

"Ra, gue ini sepupunya Damar. Seingat gue, Damar nggak suka pergi ke toko buku."

Ara mengerutkan dahinya. "Kok gue nggak tau ya tentang hal itu. Soalnya Damar keliatan santai setiap pergi ke toko buku bareng gue."

"Karena perginya berdua sama elo. Coba kalau perginya sama gue, dia nggak bakalan mau."

Ara tertawa. "Serius lo? Besok-besok gue nggak bakalan ajak Damar ke toko buku lagi deh."

"Laki-laki itu juga bisa drama, Ra. Kadang keliatannya baik-baik aja. Padahal kenyataannya itu enggak. Laki-laki jauh lebih rapuh daripada perempuan."

Ara mengangguk setuju, kemudian menyeruput milkshake cokelat yang ia pesan.

Beberapa anak kecil berteriak senang ketika melihat badut doraemon dan nobita melewati kafetaria. Ada juga yang menangis karena takut.

Melihat kejadian tersebut, Ana tersenyum.

"Ra, lo lihat badut yang ada di sana nggak?" tanya Ana sambil menunjuk sang badut.

"Iya gue liat, emangnya kenapa?"

"Gue jadi ingat kejadian beberapa hari yang lalu. Tepatnya waktu gue dan Nata pergi ke dufan. Kita foto bareng gitu sama badutnya."

Wajah Ara tampak serius. Ia menatap Ana dengan tatapan yang intens. "Lo serius?"

"Gue serius."

"Ana, gue ini teman dekatnya Nata. Seingat gue, dia paling takut sama badut. Dia nggak mungkin mau foto sama badut."

Ana mengambil ponselnya dan membuka galeri. Ia menunjukkan foto dirinya dan Nata yang sedang berpose bersama badut.

Ara memperhatikan ekpresi Nata saat difoto. Ia tampak normal, tidak ada raut wajah takut sedikitpun. Bahkan Nata bisa tersenyum.

"Gue berani sumpah kalau Nata paling takut sama badut. Dia bisa keringat dingin kalau ketemu sama badut."

"Waktu itu Nata juga sempat keringat dingin. Katanya sih dia lagi sakit perut. Atau mungkin dia-

"Kesimpulannya Nata pura-pura berani buat foto sama badut."

"Yaampun, gue nggak percaya loh kalau faktanya Nata takut sama badut."

Ara tertawa kecil. " Karena fotonya berdua sama elo. Coba kalau fotonya sama gue, dia nggak bakalan mau. Walaupun dia mau, pasti dia udah pingsan duluan."

Ana dan Ara tertawa, beberapa menit kemudian suasana menjadi hening. Ara mengetuk meja makan sementara Ana sibuk menyeruput cappucino.

Mereka tenggelam dalam imajinasi masing-masing.

--------

"Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepada ku meski kau tak cinta kepada ku."

Ara kenal dengan suara laki-laki itu. Ara sangat hapal dengan suara petikan gitar itu. Siapa lagi kalau bukan Nata.

Ara membuka jendela kamarnya. Nata sedang berdiri didepan jendela kamarnya. Jemarinya sedang memetikan senar gitar.

"Berisik!" Omel Ara.

"Lagu itu buat elo," kata Nata dan duduk di jendela kamar Ara.

"Lo ngapain sih kesini, ganggu gue belajar aja."

"Namanya juga kangen." Gombal Nata.

Entah kenapa, bibir Ara membentuk sebuah senyuman. Menyadari ada yang tidak beres dengan dirinya, ekspresi Ara langsung berubah kembali menjadi cuek.

"Ini masih hari kelima. Kita udah janji buat nggak saling ketemu dulu."

"Kita? Bukannya elo yang buat janji sepihak, gue sih nggak pernah buat janji apapun sama lo."

Ara berdecak sebal, kemudian mendorong tubuh Nata hingga terjatuh. "Lo ngebetein banget sih!"

"Jadi perempuan itu lembut dikit dong, kayaknya lo harus banyak belajar dari Ana deh."

Ara memutar matanya, dirinya terlalu malas untuk bertengkar dengan Nata. Apalagi laki-laki itu mulai membawa nama Ana.

"Sekarang otak lo udah terkontaminasi sama nama Ana ya."

Nata menaikkan sebelah alisnya, ia duduk di samping Ara. "Dari nada lo ngomong aja, gue tau kalau lo lagi nahan cemburu."

"Oh ya? Sayangnya tebakan lo salah!"

"Ra, gue juga manusia. Gue bisa jenuh buat nunggu dan hati gue bisa capek buat jatuh cinta sendirian."

"Bahasa lo terlalu tinggi! Udah sana pulang, gue mau tidur," usir Ara.

Nata mengacak rambut Ara. "Omongan gue yang tadi nggak bercanda, Ra."

Setelah mengucapkan kalimat itu, ia pergi meninggalkan Ara. Perempuan itu terdiam, ia menginggit bibir bawahnya. Entahlah, kenapa perasaannya menjadi sedih seperti ini. Bukankah seharusnya ia tersenyum lega karena Nata berhasil jatuh cinta dengan perempuan lain.

Ara memijat kepalanya, ia berusaha untuk mengabaikan perkataan Nata.

"Ara," panggil Nata di depan jendela.

"Ngapain lagi ke sini?" tanya Ara mendekati Nata.

"Ada yang ketinggalan."

"Ap-

Cup! Nata baru saja mencium kening Ara. Membuat perasaan gadis itu semakin tak menentu. Ditambah dengan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat.

"Selamat tidur, Ra. Gue sayang sama elo."

Hati Untuk AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang