Chapter22

309 25 2
                                    

"Gue punya permainan. Namanya truth or dare. Cara mainnya gue bakalan lempar koin ini. Terus elo sama gue milih angka atau gambar. Kalau koin ini jatuh digambar, berarti dia yang kena. Begitu sebaliknya," kata Ana yang memberi penjelasan.

Nata mengangguk paham. "Oke, kita mulai dari sekarang. Gue pilih angka."

"Dan gue pilih gambar."

Ana melempar koin dan beberapa detik kemudian koin jatuh ke meja dengan menampilkan sisi angka.

"Gue pilih truth."

"Cemen!" Ejek Ana.

"Sebutkan kebiasaan buruk lo yang paling memalukan."

"Nggak ada pertanyaan lain gitu?"

"Udahlah, jawab aja."

Nata menghela napas berat, mau tak mau ia harus sportif di dalam permainan ini.

"Ini rahasia antara gue sama elo aja ya. Sebenarnya gue suka tidur sambil jalan."

Ana tertawa, ia tak percaya dengan pengakuan Nata. Suara tawanya mengundang tatapan dari penghuni kafetaria.

"Berisik! Sekarang biar gue yang lempar koinnya!"

Pada lempara yang kedua, koin kembali menampilkan sisi angka. Ana tersenyum puas sementara Nata berdecak sebal.

"Kali ini gue pilih dare."

"Yakin? Nggak takut nyesel?" sindir Ana.

"Enggak."

"Tembak cewek mungil yang lagi duduk di meja nomor 15."

"Enggak, gue nggak mau," tolak Nata.

"Nggak terima penolakan. Udah cepetan sana!"

Nata berjalan mendekati perempuan yang duduk di meja nomor 15. Nata kembali menoleh ke belakang, memberi tatapan tajam pada Ana.

"Hai," sapa Nata.

Gadis itu hanya melirik sekilas dan kembali sibuk dengan bukunya.

"Aku suka kamu."

Gadis itu berdiri, ekspresinya datar, kemudian tangannya menampar pipi Nata. Membuat laki-laki itu meringis kesakitan.

"Cowok gila!" ucap perempuan itu dan langsung keluar dari kafetaria.

Nata kembali ke tempat duduknya. Ana tertawa geli melihat kejadian yang baru saja terjadi.

"Gimana rasanya ditampar, sakit?" ledek Ana.

Nata hanya diam, mengusap pipinya yang masih terasa panas. Ia kembali melempar koin dan keberuntungan berpihak padanya, koin tersebut menampulkan sisi gambar.

"Gue pilih truth."

"Siapa cowok yang lo suka?" tanya Nata.

Ana memutar matanya. "Ganti pertanyaan lain."

"Nggak bisa! Udahlah jawab aja."

"Rahasia."

"Ana curang, Ana curang, Ana curang," ledek Nata sambil melakukan goyang bebek.

"Gue nggak curang, tapi elo yang curang."

"Elo yang curang."

Ana berdecak sebal. "Terserah. Pokoknya rahasia."

--------

Slayer itu masih Ara simpan, ia masih ragu untuk memberikan slayer tersebut untuk seseorang.

"Tunggu waktu yang tepat aja deh," ucap Ara dan menyimpan slayer tersebut di laci meja belajarnya.

Entah sudah yang keberapa kalinya Ara terus mengulangi perkataan itu. Ia selalu menunda untuk memberikan slayer tersebut.

Seseorang mengetuk kaca jendela Ara, membuat gadis itu berdecak sebal. Pikirannya sudah menyimpulkan satu nama laki-laki yang selalu mengganggunya.

"Kenapa sih lo nggak lewat pintu aja, gue kan punya pintu," omel Ara.

"Gue lebih suka lewat jendela kamar lo."

Kemudian Nata memperhatikan penampilan Ara. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah. Lengkap dengan atribut yang belum dilepas.

"Lo baru pulang?" tanya Nata.

Ara mengangguk.

"Ada pelajaran tambahan?"

"Ih, banyak nanya!"

"Atau habis nemenin Damar latihan basket?"

"Ada latihan tari saman buat persiapan tampil di acara perpisahan kelas 12."

Bukannya merespon, Nata sibuk dengan ponselnya sambil tertawa sendiri.

Ara mengambil paksa ponsel Nata, mencari tahu penyebab laki-laki itu menjadi senyum-senyum sendiri.

"Oh, lagi gombalin Ana ya?"

"Ara, sini ponselnya. Gue lagi chattingan sama Ana."

"Ana, apa bedanya kamu sama burung garuda? Kalau burung garuda milik negara. Kalau kamu cuma milik aku," ledek Ara sambil membacakan pesan yang Nata kirim untuk Ana.

"Ih, sekarang lo jadi rese ya!"

Nata mengambil kembali ponselnya dan menaruh di saku celana.

"Ra, gue pengen cerita sama lo."

"Tentang Ana?" Tebak Ara dengan perasaan yang entah kenapa ia malas mendengar curhatan Nata tentang Ana.

Nata mengangguk. "Ana lagi suka sama seseorang. Menurut lo siapa?"

"Elo," jawab Ara singkat.

"Gue?" tanya Nata sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, dia suka sama elo."

"Nggak mungkin! Sikap dia ke gue nggak mencerminkan kalau dia suka sama gue."

"Dari tatapan matanya, dari cara dia perhatian sama elo, dari cara dia yang berusaha selalu ada buat lo, apa itu semua kurang jelas? Buka mata lo, Nat!"

"Respon lo seratus persen ngaco! Udah ah, gue mau pulang. Gue males cerita sama lo," ucap Nata kesal dan kemudian pergi.

Ara menghela napas, ia kembali mengeluarkan slayer yang ia simpan di laci meja belajarnya.

"Gimana gue mau kasih slayer ini ke elo, Nat. Kalau sekarang pikiran lo cuma terfokus sama Ana aja."

---

Hati Untuk AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang