Chapter35

304 24 2
                                    

Seisi kelas XII-IPA3 dibuat ramai karena insiden hilangnya cincin emas Diandra. Gadis itu memang sedikit pelupa, sudah ketiga kalinya cincin itu hilang. Membuat semua teman kelasnya terpaksa membantu Diandra untuk mencari cincin di berbagai tempat.

"Anjir, capek gue. Lo nggak inget apapun gitu, Di?" tanya Nata dan duduk di bangkunya.

"Ih gue nggak tau, Nat. Bantu cariin kek!!" rengek Diandra sambil mendorong pundak Nata.

Dengan malas, Nata berdiri. "Iya sabar." Kemudian ia duduk kembali. Membuat Diandra kesal.

"Nata!!!! Bantuin kenapa sih!" Teriak Diandra tepat di telinga Nata.

Kedua matanya melihat Ana yang baru saja selesai makan di kantin. "Oy, An!"

Ana melirik Nata. Kemudian melihat sekeliling kelas. Semuanya terlihat sibuk.

"Pada ngapain deh?"

"Tuh, cincinnya Diandra hilang."

"Hah, hilang lagi? Mampus aja lu. Nggak usah ketemu deh tuh cincin. Daripada ketemu terus ngilang lagi. Nyusahin," sindir Ana dengan kesalnya.

"Ih jahat banget sih, bukannya bantuin gue malah nyumpahin."

Ana memutar bola matanya. "Nggak usah cerewet. Gue bantuin."

Ana ikut menunduk. Mencari cincin Diandra yang hilang. Ketika sibuk menunduk, tak sengaja kepalanya terbentur dengan meja.

"Aduh!" Ana mengusap kepalanya yang sakit.

"An, lu kenapa?" tanya Nata yang menghampiri Ana.

"Kepentok meja. Benjol nggak?"

Ana menunduk. Membiarkan Nata melihat kepalanya yang terbentur. "Enggak, sakit banget?"

"Nyeri doang sih. Ya, lo tau lah rasanya kejedot itu gimana."

"Harus digituin tuh biar sakitnya ilang."

"Hah, digituin?"

"Iya digituin."

"Apa sih, bahasa lo aneh."

"Maksud gue, kaya gini nih."

Nata mencium kepala Ana dan mengusapnya. "Udah nggak sakit, kan?"

Hal itu bukan saja berdampak pada diri Ana sendiri. Tetapi seisi kelas semakin riuh dengan adanya pertunjukan seperti itu. Terlebih, mereka mengetahui jika hubungan Nata dan Ana harus berhenti di tengah jalan.

Ana terdiam, menundukkan kepalanya, mencoba untuk menetralkan detak jantungnya terlebih dahulu.

Ana tersenyum, mengusap pipi kiri Nata dan PRAK!! Tamparan itu terdengar cukup menyakitkan. Apalagi jika melihat ekspresi Nata yang saat ini meringis kesakitan.

"Kalau yang itu, sakit atau enggak?"

--------

Nata menghalangi langkah Ana untuk berjalan lebih jauh. Membuat perempuan itu harus menahan kesabarannya.

"Mau lo apa sih?"

"Pulang bareng."

"Enggak, gue mau mampir dulu."

"Kemana?"

"Ada lah pokoknya."

"Gue ikut."

"Ngapain sih ikut-ikut, ngerepotin!"

"Makanya bareng."

"Nggak mau."

"Gue maksa."

"Nggak suka cowok kasar."

"Nggak bakalan kasar kalau lo nggak nolak," jawab Nata dan menarik tangan Ana.

Suasana di kafe arabica terkesan canggung. Rasanya seperti baru pertama kali mereka bertemu. Ana mengaduk cappucino, tak berminat untuk meninumnya.

Nata mulai bosan, ia mengambil cappucino milik Ana dan meminumnya. Sementara si empunya, hanya melirik sekilas dan tak peduli.

"Canggung banget gila," sindir Nata.

Ponsel milik Nata berbunyi. Terdengar notifikasi line masuk. Ana melirik sekilas, terpapar nama Ara pada layar ponsel Nata. Entah kenapa, ia begitu penasaran dengan pesan dari Ara.

Kali ini, Nata yang enggan untuk merespon. Membuat Ana mengambil ponsel Nata dan membuka fitur line.

Ara : Nat, lo lagi dimana?

Ara : bisa jemput gue? Gue di toko buku permata. Di sini hujan, angkot juga nggak ada. Udah mau malem, Nat. Gue takut. Kemarin baru aja ada korban penculikkan.

Ana langsung menunjukkan isi pesan yang dikirim oleh Ara. "Jemput sana."

"Suruh Damar aja yang jemput. Dia kan punya pacar."

"Lo nggak tau? Mereka udah putus."

Nata terdiam. Menatap mata Ana dalam-dalam.

"Ah, gue serius," ucap Ana sambil menampir pipi Nata.

Nata meringis dan menyentuh pipinya. "Hobi lo jadi suka nampar gue gini."

"Sakit?"

"Gatel!" jawab Nata sewot.

"Sakitan mana sama gue? Ngeliat elo ciuman sama Ara."

Nata mengangkat sebelah alisnya. "Elo-

"Ini bukan saatnya bahas soal 'kita', ini tentang Ara, Nat. Lo nggak liat di luar udah hujan. Kasihan Ara, jemput dia sana."

Nata mengambil ranselnya, mengenakan jaket abu-abu yang biasanya ia pakai. "Gue pergi dulu, lo hati-hati ya."

Hati Untuk AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang