Chapter10

379 33 5
                                    

Sejak setengah jam yang lalu Ana masih menangis. Nata berusaha untuk menenangkan Ana.

"Ayah gue selingkuh terus nikah lagi sama perempuan lain tanpa ngasih tau keluarganya. Minggu lalu bunda gue nggak sengaja ngeliat ayah gue sama istri barunya di toko bunga dan setelah itu ayah sama bunda gue selalu bertengkar. Dan akhirnya bunda gue memilih untuk cerai sama ayah.

"Sejak kejadian itu bunda jadi sering nangis, ayah udah nggak pernah nengokin kita lagi. Bahkan beliau lepas dari tanggung jawabnya buat nafkahin anaknya."

Isakkan Ana semakin keras, Nata kembali memeluk Ana dan mengusap kepala Ana.

"Lo perempuan kuat."

Ana menghapus air matanya.

Drrtt...drrtt...ada telepon masuk dari ponsel Nata. Dengan kesal, Nata kembali memasukkan ponselnya.

"Kok nggak diangkat?"

"Nggak penting."

"Emangnya dari siapa?"

"Ara."

Ponsel Nata kembali berdering.

Ana menepuk pundak Nata. "Angkat aja, Nat. Dia pasti khawatir sama lo."

------

Ara terus berusaha untuk menghubungi Nata. Ia berharap jika Nata mau menjawab panggilan masuk darinya. Saat ini, ia benar-benar membutuhkan sosok Nata yang dapat menenangkan dirinya.

Ara sedang duduk di ruang tunggu. Kedua orangtuanya akan pulang setengah jam lagi. Ia sendirian, ia kesepian dan ia ketakutan.

Rasa bersalah terus menghantui dirinya, tak seharusnya ia memaksa kakaknya untuk mencari keberadaan Nata. Jika ia tidak melakukan hal tersebut, kakaknya masih tetap sehat dan tertidur pulas di dalam kamarnya, bukan berada di rumah sakit.

Setelah telepon diangkat oleh Nata, ia terus menunggu kedatangan Nata. Berharap bahwa laki-laki itu cepat sampai ke rumah sakit.

Nata datang dengan Ana, ia berlari dan langsung memeluk dan mengusap rambut Ara, seperti yang tadi ia lakukan pada Ana.

Posisi Ana membelakangi tubuh Ara.
Ada perasaan aneh yang terjadi pada dirinya. Hatinya terus memberontak dan menyuruh diri Ana untuk pergi. Ana melangkah mundur. Namun pergelangan tangannya ditahan oleh Nata.

Nata menggelengkan kepalanya, seperti mengisyaratkan 'Jangan pergi' kepada Ana.

Setelah isak tangis Ara sudah sedikit berkurang, Nata melepaskan pelukannya dan pada saat itu juga Ana melepaskan tangannya dari tangan Nata. Bersikap seolah-seolah tidak ada yang terjadi diantara mereka berdua.

"Gue nggak mau kehilang bang Denis, gue sayang sama abang gue," kata Ara sambil menangis.

Ana merangkul Ara dan mengusap pundak gadis itu.

"Gue turut sedih sama kecelakaan yang menimpa kakak lo."

Nata mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Halo," ucap seseorang.

"Ini gue Nata. Sekarang lo ke rumah sakit graha pertama. Bang Denis kecelakaan, Ara lagi nangis. Dia butuh elo."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut. Nata langsung mematikan handphonennya.

------

"Ara?"

Pandangan mereka tertuju pada laki-laki yang baru saja datang. Ya, laki-laki itu tidak lain dan tidak bukan adalah Damar. Nata meneleponnya untuk datang dan menenangkan Ara.

"Damar."

Damar mendekati Ara, mengusap rambut Ara dan mengajaknya untuk ke taman di dekat rumah sakit.

Baru saja Ana ingin mengikuti langkah Damar dan Ara. Pergelangan tangannya ditahan oleh Nata.

"Biarin aja mereka jalan berdua. Damar punya cara tersendiri buat hibur Ara. Lo sama gue nunggu di sini aja," ucap Nata yang berbicara pada Ana. Namun tatapan matanya masih tertuju pada Damar dan Ara.

"Lo cemburu?"

"Ini bukan saatnya gue cemburu. Ara lagi butuh Damar."

-------

Malam semakin gelap, Nata memutuskan untuk mengajak Ara pulang. Sementara Ana sudah pulang dengan Damar beberapa jam yang lalu.

"Ra, pulang yuk. Besok kita sekolah."

"Gue masih mau di sini. Gue nggak mau sekolah."

"Ra, bang Denis nggak suka kalau lo bolos sekolah. Habis pulang sekolah, kita ke rumah sakit lagi buat jenguk bang Denis." Nata masih berusaha untuk membujuk Ara.

"Nat, kalau lo mau pulang ya pulang aja. Gue nggak maksa atau minta lo buat nemenin gue disini. Gue nggak masalah kalau sendirian."

"Yaudah kalau gitu gue temenin elo disini ya?"

"Nggak perlu, Nat. Lo pulang aja deh. Tadi sore Damar udah janji buat nemenin gue disini. Jadi lo pulang aja. By the way, hati-hati di jalan," jelas Ara sambil menepuk pundak Nata.

Nata mengangguk pasrah dan meninggal Ara. Seharusnya ia sadar bahwa Ara lebih membutuhkan Damar dibandingkan dirinya.

Seharusnya ia sadar diri bahwa kehadiran dirinya tidak ada artinya dimata seorang Ara.

Ara hanya fokus pada Damar dan Ara hanya bisa melihat Damar.

Nata hanya sebatas teman untuk Ara. Nata hanya sebatas angin lalu untuk Ara.

Hati Untuk AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang