Chapter23

318 23 6
                                    

Seluruh anggota osis SMA Adipura dan SMA Adijaya sibuk mempersiapkan persami untuk sabtu besok di sekolah SMA Adipura.

"Oke, kita istirahat dulu sampe jam 2," intruksi Reza-selaku ketua osis di SMA Adijaya.

"Ana!" panggil Rina.

"Kenapa, Rin?"

"Tadi Nata ke sini. Terus dia nyuruh gue buat kasih makanan ini ke elo," kata Rina dan memberikan kotak makan pada Ana.

"Nata udah pulang, Rin?"

"Kayaknya udah deh. Soalnya tadi dia agak buru-buru gitu."

Ana mengangguk mengerti dan menghampiri Ara yang sedang duduk.

"Ra, udah makan?" tanya Ana.

"Belum, lo bawa bekal?" Ara menunjuk kotak makan yang dipegang oleh Ana.

"Enggak. Ini dari Nata."

Ara mengerutkan dahinya. "Dia ke sini?"

Ana mengangguk dan membuka kotak makannya.

"Nata perhatian banget ya."

Ana tersenyum malu. "Kadang gue suka mikir kalau hubungan gue sama Nata itu kaya semacam teman tapi rasa pacaran."

Ara tersenyum tipis, namun ada yang aneh dengan hatinya. Rasanya sesak dan entah kenapa ia juga ingin menangis.

"Oh ya, lo belum makan, kan? Kita makan berdua aja yuk!" Tawar Ana.

"Gue keluar dulu ya. Lo makan duluan aja."

Ara berlari menuju ruang kelas XI IPA-2. Ia menghapus air matanya yang entah kapan air mata itu terjatuh.

Rasanya sakit, rasanya aneh, Ara sadar bahwa ada yang tak beres dengan hatinya.

"Kenapa harus Ana lagi sih, kenapa sekarang Nata lebih perhatian sama Ana. Seharusnya Nata tau kalau gue juga anak osis, kalau gue nggak pernah bawa bekal setiap ke sekolah, kalau gue belum makan. Tapi kenapa perhatian Nata cuma buat Ana," batin Ara dengan kesal.

"Ternyata lo ada di sini, dari tadi gue nyariin elo."

Itu suara Nata, Ara langsung menghapus air matanya. Ia tak ingin Nata melihatnya sedang menangis.

"Lo ngapain ke sini?"

Nata menatap kedua mata Ara. "Mata lo kenapa, abis nangis?"

Ara menggelengkan kepalanya.

"Suara lo juga kedengeran kaya orang abis nangis."

"Tadi tiba-tiba kepala gue pusing dan akhirnya gue nangis," ucap Ara berbohong.

"Pasti karena lo belum makan, nih buat lo."

"Ini apa, Nat?"

"Nasi padang buat lo. Gue tau kalau lo belum makan dan kebiasaan buruk lo itu nggak pernah bawa bekal."

Bibir Ara membentuk sebuah senyuman. Ternyata Nata tidak melupakan kebiasan Ara. Laki-laki itu masih laki-laki yang Ara yang kenal sejak beberapa tahun yang lalu. Laki-laki yang suka memberikan perhatian kecil pada Ara.

"Jangan makan dulu!" Cegah Nata dan membuat Ara meletakkan kembali sendok yang hampir mendarat di mulutnya.

"Apa?"

"Lo nggak mau bilang makasih gitu sama gue?"

Ara memutar matanya. "Makasih Nata yang baik hati."

"Tunggu!" Nata kembali mencegah Ara dan tentu saja membuat gadis itu kesal.

"Nata, perut gue udah laper. Bisa nggak sih lo kasih kesempatan buat gue makan dengan damai?"

Nata tidak merespon ucapan Ara. Ia mengambil karet gelang yang dipakai untuk membungkus kertas nasi padang.

Ia berdiri di belakang Ara. "Rambut lo itu udah panjang, kalau nggak dikuncir dulu, nanti bisa ganggu pas lo lagi makan," ucap Nata sambil menguncir rambut Ara.

Tentu saja hal itu membuat detak jantung Ara berdetak lebih cepat. Lagi, lagi dan lagi, entah kenapa akhir-akhir ini jantung Ara berdetak lebih cepat, salah tingkah berkepanjangan atau bahkan senyum-senyum sendiri.

Dan itu semua ia rasakan saat bersama Nata dan mendapatkan perhatian kecil dari Nata.

"Nah, sekarang lo boleh makan deh!"

--------

Nata sibuk memperhatikan foto-foto yang baru saja ia cetak. Foto itu diambil ketika Nata dan Ana pergi ke dufan.

Nata berpose dengan gaya yang sama. Jarinya membentuk huruf V, ia sedang tersenyum dan pandangan matanya mengarah pada perempuan yang berdiri di sampingnya.

Sedangkan perempuan itu sibuk berpose dengan gaya yang berbeda. Tanpa menyadari bahwa Nata sedang memperhatikannya.

"Nat, ini gue Ara," ucap Ara sambil mengetuk pintu kamar Nata.

Nata segera menyimpan foto-foto tersebut dan membuka pintu kamarnya.

"Tumben banget lo ke sini, ada apa?"

"Di rumah lagi nggak ada orang," jawab Ara dan masuk ke dalam kamar Nata.

Ara mendekati jendela kamar Nata dan membuka jendela tersebut. Membiarkan angin malam bermain bersamanya.

"Jam segini enaknya liat bintang. Sayang ya bintangnya lagi nggak ada. Cuma ada bulan aja."

Nata berdiri di samping Ara. Kedua matanya ikut menatap bulan. "Gue jadi ingat perkataan lo waktu kelas 7 SMP."

Ara mengalihkan pandangannya ke arah Nata. "Perkataan yang mana?"

"Lo selalu bilang sama gue kalau lo mau nikah sama Damar di taman. Terus elo juga pernah bilang kalau lo mau punya anak perempuan yang namanya Bulan."

Entah kenapa ucapan itu hanya membuat Ara menjadi sedih. "Nggak seharusnya gue ngomong kaya gitu, Nat."

Nata mengerutkan dahinya. "Maksud lo?"

"Jodoh kan nggak ada yang tau. Siapa tau aja jodoh gue bukan Damar. Mungkin jodoh gue itu..." Ara menghentikan ucapannya. Ia menutup kedua matanya dan menyebutkan nama seseorang di dalam hatinya.

"Semoga elo itu jodoh gue, Nat."

"Siapa?"

"Bukan siapa-siapa."

Laki-laki itu hanya diam.

"Kok lo malah diem aja sih, Nat?" batin Ara dengan kesal.

"Nat," panggil Ara.

"Ya?"

"Lo nggak penasaran sama nama laki-laki itu?"

"Buat apa gue penasaran. Siapapun nama laki-laki yang lo sebut di dalam hati lo, gue harap dia bisa buat lo bahagia. Dan gue yakin, nama laki-laki itu pasti bukan gue."

Ara tertawa hambar ketika mendengar jawaban dari bibir Nata. "Iya iya, tumben otak lo pintar."

Hati Untuk AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang