Nata duduk di depan teras rumahnya. Ditemani dengan gitar kesayangannya. Memainkan sebuah lagu kesukaan Ara. Biasanya, Ara selalu meminta Nata untuk memainkan lagu kesukaannya. Lagu simponi hitam milik sherina munaf.
Bahkan Nata tahu alasan mengapa Ara menyukai lagu tersebut.
"Ini tuh lagunya gue banget deh. Lagu ini tuh mewakili perasaan gue banget, Nat. Dimana gue nggak bisa nyentuh hati Damar. Dimana gue nggak bisa miliki Damar. Dimana gue jatuh cinta sama Damar tapi Damar nggak pernah lihat perasaan gue. Pokoknya lagu ini tuh lagunya gue banget deh!"
Seperti itulah alasan Ara. Ya, alasan utamanya adalah Damar. Damar adalah laki-laki yang mampu membuat Ara tertawa dan menangis.
Damar adalah alasan Ara patah hati sekaligus obat penawar patah hati untuk Ara.
"Nata!! Nata!!!" Teriak Ara bersemangat.
Ara berlari kearah Nata dan memeluk Nata. "Hari ini gue senang banget."
"Biar gue tebak, pasti bang Denis-
"Salah. Pokoknya tebakan lo salah total!"
Nata mengerutkan dahinya. "So?"
"Damar beli cincin dan bunga buat seorang perempuan. Dan lo tau, besok dia minta gue buat datang ke kafe arabica. Gue yakin banget kalau besok Damar mau nembak gue."
Ara kembali tersenyum senang sedangkan Nata hanya terdiam dan memainkan gitarnya. Tatapannya lurus ke depan.
"Nat, gue harus ngomong apa ya? Gue jawab enggak atau iya? Gue harus buat dia nunggu atau nerima dia saat itu juga? Duh Nat, gue grogi nih."
Nata terus memainkan gitarnya. Jemarinya memetik senar gitar tanpa nada.
"Nat, lo kenapa sih? Seharusnya lo kasih gue ucapan selamat dong," kata Ara dan berdecak sebal.
"Lo udah selesai buat cerita? Lo udah selesai buat ngomong?"
Ara mengangguk.
"Sekarang giliran gue yang ngomong. Sebenarnya lo perempuan jenis apa sih? Lo sama sekali nggak punya hati ya. Gue emang cowok, tapi gue juga punya hati. Bukan cuma hati lo doang yang bisa retak tapi hati gue juga bisa retak.
"Lo amnesia atau apa sih? Sampe lo lupa kalau status lo itu pacar gue. Dan dengan bahagianya, dengan gampangnya lo minta gue buat kasih lo ucapan selamat?"
"Dengar ya, Nat. Gue sadar kok kalau status gue itu pacar lo. Tapi itu cuma sekedar status. Nyatanya gue masih suka sama Damar. Nggak seharusnya lo ngomong kaya gitu, seharusnya lo udah bisa terima resiko patah hati dari awal. Selama ini lo cuma jatuh cinta sendirian, selama ini gue terima lo karena terpaksa dan selama ini gue nggak pernah bisa suka sama lo. Dan satu hal lagi, seharusnya lo tau itu."
Nata menelan ludah berkali-berkali, kalimat yang keluar dari bibir Ara benar-benar membuatnya sadar dan bangun dari alam mimpi.
"Lo mau ngomong apa lagi, Nat? Lo sadar nggak sih kalau selama ini lo egois. Pernah nggak sih lo mikirin perasaan gue? Pernah nggak sih lo nanya sama hati gue. Gimana beratnya gue nerima elo, gimana susahnya gue buat berusaha jatuh cinta sama lo walaupun hasilnya gagal. Dengan lo maksa gue buat nerima elo jadi pacar gue. Itu sama aja kaya lo nyiksa hati gue.
"Hubungan kaya gini tuh nggak sehat. Gue lebih suka kita berteman kaya dulu. Gini deh, kita putus aja. Kita nggak perlu lanjutin hubungan yang nggak sehat kaya gini. Elo cari kebahagiaan lo sendiri dan gue cari kebahagiaan gue sendiri."
"Ra-
"Stop, Nat. Gue nggak mau dengar alasan apapun lagi. Gue capek dan gue mau tidur."
Ara pergi meninggalkan Nata yang masih terdiam. Baru saja Ara memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Tanpa ingin mendengar bagaimana suara hati Nata.
"Bahkan lo juga nggak pernah nanya gimana perasaan gue, gimana susahnya gue buat elo tersenyum lagi setelah elo patah hati karena Damar," batin Nata.
------
Ara sudah menunggu kedatangan Damar sejak setengah jam lalu. Rasa bosannya dikalahkan dengan rasa gugup yang sedang ia rasakan. Ia berusaha untuk menetralkan detak jantungnya.
"Iya, enggak, enggak, iya, duh gue harus jawab apa," ucap Ara dengan perasaan yang bimbang.
"Emangnya lo mau jawab apa sih? Sampai bingung gitu."
Ucapan dari laki-laki yang sudah Ara tunggu kedatangannya semakin membuat Ara menjadi salah tingkah.
Ara hanya tersenyum grogi.
Damar mengambil cincin dari saku celananya. Mengenakan cincin tersebut pada jari manis Ara. Membuat detak jantung Ara semakin meledak-ledak.
Damar tersenyum puas, memandangi cincin yang melingkar pada jari manis Ara.
"Cantik," puji Damar.
"Duh, habis ini pasti Damar mau nembak gue. Pokoknya gue harus jawab iya. Gue nggak boleh gantungin perasaan Damar," batin Ara.
Tak lama kemudian, Damar melepaskan cincin tersebut dari jari manis Ara.
"Sebentar lagi dia bakalan datang, lo bawa cincin sama bunga ini dan ngumpet di belakang ya, jangan sampe keliatan. Nanti kalau gue tepuk tangan satu kali, lo baru muncul sambil bawa hadiah ini."
Tubuh Ara menengang, ia terkejut sekaligus bingung dengan ucapan Damar.
"Dia itu siapa?"
"Nanti juga lo bakalan ketemu kok sama orangnya. Sekarang lo cepetan deh buat ngumpet. Sebentar lagi dia bakalan datang dan gue nggak mau kejutannya gagal."
Ara bangkit dari tempat duduknya, pergi ke belakang dan mengumpat di dekat meja nomor 23.
Hatinya terus berteriak dan menyuruhnya untuk pergi dari sini. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Namun Ara terlalu penasaran dengan perempuan itu.
Perempuan berambut panjang, memiliki lesung pipit dan mengenakan dress berwarna biru muda datang menghampiri Damar. Mereka berpelukkan, Perempuan itu menyentuh rambut Damar.
Ara tahu hal yang tidak disukai Damar. Damar tidak suka jika ada perempuan yang menyentuh rambutnya. Kecuali, jika perempuan itu sudah dekat dan menjadi salah satu orang terpenting di dalam hidupnya.
Bukankah semuanya sudah jelas jika perempuan itu memiliki tempat tersendiri didalam kehidupan Damar.
Ara keluar dari tempat persembunyiannya, ia sudah tidak kuat untuk melihat Damar dengan perempuan itu.
"Mbak, tolong kasih bunga sama cincin ini ke meja nomor 15 ya," ucap Ara kepada pelayan kafe dan langsung pergi dari kafe arabica melalui pintu belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Untuk Ara
Teen FictionCerita ini tentang Nata yang jatuh cinta sendirian. Tentang Ara yang masih menyukai masa lalunya. Tentang Ana yang bertemu dengan Nata. Tentang Damar yang mencoba untuk memperjuangkan Ara. Dunia tahu jika Nata menyukai Ara. Bahkan dunia juga tahu ji...