Ch.4

1.7K 180 6
                                    

     "Ivy!" Teriak Biru saat ia melihat Ivy sedang menaiki tangga.

     Ivy menoleh sebentar dan menghentikan langkahnya. Biru tersenyum dan segera berlari menghampiri Ivy.

     "Kemana sih lo?!! Gue nyariin lo tau?! Gue nungguin di kantin sendirian, makan sendirian, ngomong sendirian. Ngapain sih lo tiba-tiba ninggalin gue gitu aja? Kabur gitu, nyebelin ah!" Oceh Ivy hanya dengan satu kali tarikan nafas. Biru menahan tawanya.

     Biru yang cukup pendiam tidak pernah risih oleh ocehan sahabatnya, karena bagi Biru, ocehan Ivy adalah hiburan.

     "Gue tadi keinget sesuatu, sorry yaa!" Kata Biru diikuti dengan cengirannya. Ivy mendengus.

     "Bakso lo gue abisin tuh, sayang tauk udah di beli orangnya ngilang. Daripada mubazir, mayan dah, sering-sering aja begitu, yak." Ucap Ivy enteng seolah tak mempunyai dosa sambil menepuk-nepuk bahu Biru.

     Biru menyikut lengan Ivy pelan sambil memelototinya. Ivy sendiri malah membalasnya dengan ekspresi yang tak kalah menyeramkan. Lima detik mereka terbuang sia-sia hanya untuk adu wajah sok galak dan sok seram.

     "Udeh ah, ke kelas, yok! Abis ini kan pelajaran Pak Jae, lo tau sendiri, lah guru lo yang satu itu kayak gimana orangnya, mana ngajar matematika lagi tuh guru, mabok gue lama-lama." Ivy kembali mengoceh seraya menarik lengan Biru untuk ikut bersamanya menaiki tangga menuju kelas.

     "Eh, tunggu! Ganti ya, bakso gue?" Ujar Biru menggoda, Ivy menghentikan langkahnya, menoleh dan membulatkan penuh kedua bola matanya.

     "Eh, gila! Siapa suruh lo kabur? Itu rejeki, mubazir di buang-buang! Ngerti, gak?! Lo tanya Pak Syafei coba!" Jawab Ivy dengan emosi. Hidungnya kembang kempis. Melihat ekspresi Ivy bukan membuat Biru merasa ngeri atau semacamnya, malah membuat Biru ingin tertawa sekeras-kerasnya.

     "Yaelah, santai aja, Vy. Yuk!" Biru terkekeh seraya mendorong Ivy untuk cepat-cepat menuju kelas.

     Dalam hati, Biru sangat bersyukur karena Ivy tidak bertanya 'sesuatu' apa yang membuat Biru meninggalkannya sendirian di kantin. Ia menghela nafas lega.

     Baru saja mereka menempelkan bokong mereka ke kursi, Pak Jaenudin atau biasa di sapa Pak Jae; selaku guru matematika ter-killer dengan kumis tebal, kacamata bulat dan perut buncit memasuki kelas dengan setumpuk buku di tangan. Tatapan matanya yang super tajam selalu berhasil menciutkan nyali murid-muridnya.

     Kelas yang ramai seketika hening. Pak Jae menatap satu persatu anak didiknya. Pak Jae berdehem dan mulai menjelaskan materi di depan kelas. Semua anak-anak fokus mendengarkan penjelasan materi dari Pak Jae.

     "Bagaimana? Paham semua?" Tanya Pak Jaenudin usai membetulkan kacamatanya yang cukup tebal.

     "Paham, Pak!" Koor anak-anak tanpa terdengar semangat sama sekali. Entahlah, kumpulan angka dan rumus selalu menjadi musuh besar bagi para murid-murid. Hanya setetes yang menyukainya.

     Pak Jae mengangguk-anggukan kepalanya. Beliau membuka buku cetak dan sibuk membolak-balikkan setiap halaman dari buku cetak tersebut.

     "Jika kalian sudah mengerti, coba kalian isi tugas di halaman 27 sampai 31. Dari pilihan ganda sampai essay romawi 3." Perintah Pak Jae yang kemudian menutup buku cetak.

     Wajah anak-anak nampak sangat lesu mendengar perintah dari guru killer mereka yang menyuruh untuk mengerjakan tugas matematika yang sangat banyak. 20 butir soal pilihan ganda dan 15 soal essay membuat kepala mereka pecah lebih dulu sebelum mengerjakan soal-soal tersebut.

BIRU [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang