Bagas membuka kelopak matanya sebelum alarm berbunyi.
Entahlah, Bagas terkadang benci, kenapa ia bisa bangun pagi tanpa alarm di hari minggu dengan mudah tetapi sangat sulit bangun pagi tanpa alarm di hari biasa?
Tok... Tok... Tok...
"Bagas? Kamu sudah bangun?"
Bagas mengangguk pelan dengan mata setengah terpejam.
Beberapa saat kemudian Bagas tersadar dan bergumam. "Eh, kok gue ngangguk? Kan percuma, Nenek gak bakal tau."
Bagas menepuk dahinya, menertawai kekonyolannya dalam hati.
"Udah, Nek!" Seru Bagas dari dalam kamarnya.
Wulan mengangguk dan kemudian segera pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.
Bagas turun dari ranjang, merapikan ranjangnya, menyapu kamar, mematikan kipas dan lampu, membuka gorden, kemudian bergegas untuk mandi. Itulah kebiasaan Bagas selepas tersadar dari alam mimpinya, Bagas memang tergolong kategori cowok yang mandiri. Tak ayal jika Bagas termasuk the future boyfriend, atau malah bisa jadi Bagas adalah the future husband.
Di lain tempat, gadis cantik bernama seperti warna tersebut kini masih terlelap dengan cantiknya.
Selimut masih dengan rapi menutupi sebagian tubuhnya, AC masih menyala menebarkan kesejukannya, gorden biru yang menutupi jendela kamarnya masih tertutup dengan rapat, lampu kamar masih menyala remang-remang.
Tok... Tok... Tok...
"Non Biru..."
Ini sudah hampir yang ke-10 kalinya Bik Ratih mengetuk pintu kamar Biru dan memanggilnya dengan lembut juga penuh kesabaran. Tetapi, tetap saja gadis itu mengabaikannya dan memilih untuk melanjutkan mimpi indahnya.
"Biru..."
Seketika kelopak mata Biru terbuka. Matanya melotot seakan ingin melompat keluar. Ia tidak percaya akan suara yang memanggilnya barusan. Segera ia bangun dengan sedikit keterkejutan dan mengucek matanya dengan gusar.
Biru melirik jam.
Pukul 07.15 pagi.
"Sayang, kamu udah bangun, kan?"
Hati Biru terlonjak senang bukan kepalang.
"Iya udah Bunda!" Teriak Biru dari dalam kamar.
Entah apa yang gadis itu rasakan sekarang, ia buru-buru menuruni ranjangnya dan berlari menuju pintu. Langkahnya sedikit terhuyung ke kiri dan ke kanan, setengah dari nyawanya masih belum kembali. Gadis itu membuka pintu kamarnya dengan semangat. Tetapi, wajah berserinya melesu saat di lihatnya tak ada siapapun di depan pintu kamarnya.
"Gue gak lagi mimpi 'kan?" Tanyanya pada diri sendiri.
Biru menghela nafas kesal dan kemudian menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras. Biru meraih handuknya dan berjalan menuju kamar mandi pribadinya.
Usai mandi, Biru segera berpakaian. Pakaian yang ia kenakan hari ini adalah dress selutut warna cokelat susu bermotif dedaunan. Biru menyisir rambutnya, ia melirik ke bawah dimana helaian-helaian rambutnya jatuh berguguran ke lantai.
Biru menggeleng lemah.
Gadis itu berjongkok dan memunguti helaian rambutnya yang rontok, di pilin kemudian membuangnya ke tempat sampah. Hal itu sudah menjadi tradisinya usia menyisir rambut.