Setelah kepulangan teman-teman tak warasnya. Bagas kembali ke kamar dengan wajah semrawut. Berdiri di depan cermin seukuran badan sambil mengacak rambutnya. Ia tahu, itu menyakitkan. Luka di kepalanya belum sembuh. Tapi lebih menyakitkan lagi jika ia harus memikirkan Biru tanpa bertemu dengan gadis itu.
Mata sayu Bagas melirik ke arah meja lampu di samping kanan tempat tidurnya dan menemukan sebuah benda yang pernah ia khawatirkan saat hilang. Bagas mengambilnya, membuka lipatan-lipatan kertas yang membungkusnya dan terpampanglah wajah cantik yang selama ini ia kagumi.
Bagas tersenyum miring. Ia ingat sekali. Ia menemukan foto itu saat ia pergi ke warnet, iseng membuat salah satu akun media sosial dan kemudian mencari nama seseorang yang tiba-tiba terlintas lagi dipikirannya. Ia menyimpan beberapa foto dan bertanya kepada penjaga warnet apakah ia bisa mencetak foto dan jawabannya menggembirakan untuk Bagas.
Seseorang dalam foto tersebut adalah Biru. Gadis cantik yang sedang melakukan selfi dengan senyum tipis yang manis. Rambutnya tergerai sempurna, bola matanya penuh dan indah. Ah. Cinta. Mengapa selalu tentang kagum dan---sakit?
Ini bukan kali pertama Bagas bertanya-tanya mengenai perasaannya sendiri. Ini sudah kesekian kali dan pertanyaan miliknya sendiri belum mampu ia jawab sampai saat ini.
Ia memang kecewa pada cinta. Ia kecewa pada mamanya yang bilang bahwa cinta itu sempurna, cinta takkan pernah pergi. Ia tahu, Tuhan lebih berhak mencintai mamanya, Tuhan lebih berhak mengambil mamanya. Tapi apakah Tuhan juga mencintai papanya dengan membuat ia jauh dari papanya?
💎💎💎
"Halo?""Kamu dimana?"
"Anakmu. Ke Rumah Sakit sekarang! Kita perlu bicara."
Tut... Tut... Tut...
Karin menghela napas berat. Sudah banyak urusan yang ia cancel demi putrinya. Apalagi urusan ke luar kota dan ke luar negeri. Ia tak ingin menjadi ibu yang bodoh. Biru tak pernah merasakan indahnya keharmonisan keluarga sejak kecil. Apa salahnya jika ia harus menemani Biru di situasi seperti ini?
"Ibu. Ibu sudah tenang?"
Seorang suster cantik datang menghampiri Karin dengan keramahtamahannya. Karin tersenyum dan mengangguk cepat.
"Baguslah. Anak Ibu sedang melakukan perawatan. Sebaiknya Ibu berdoa yang terbaik untuk putri Ibu." Ujar Si Suster sambil tetap tersenyum.
Karin menyipitkan matanya sambil menatap suster di sampingnya dengan tatapan tak percaya. "Perawatan apalagi? Kondisi anak saya kenapa lagi?" Cecar Karin kalut.
Si Suster tampak cemas, ia tetap berusaha tersenyum agar Karin tak panik.
"Tidak apa-apa, Ibu. Anak Ibu hanya perlu perawatan yang lebih intensif lagi agar kondisinya semakin membaik." Kata Si Suster dengan lemah lembut.
Di lain tempat. Gadis cantik yang kerap kali dikagumi banyak orang atas keindahan fisiknya terkulai lemah tak berdaya diatas ranjang dengan selang sana-sini dan jarum yang tertusuk menembus kulitnya. Ia sudah sadar sejak lima menit yang lalu.
Tatapannya kosong. Ia seperti tak punya semangat untuk hidup. Ia kembali berpikir apakah ia egois? Ia bersikap tak santun kepada orangtuanya hanya karena ia merindukan sebuah perhatian? Apakah ia anak durhaka?
Tiba-tiba ia teringat kembali kenangan masa kecilnya. Ketika mereka piknik di hari minggu untuk pertama kalinya.
-FLASHBACK ON-