"BIRU!"
Mendengar percakapan antara suster dengan orang diseberang telepon yang diduga adalah dokter yang akan menangani Biru, sontak membuat tubuh Ivy melemas. Begitu pula dengan Bagas.
Ada apa dengan Biru?
Mengapa para suster itu mendorong brankar kasur dengan amat tergesa?
Ada apa dengan pasien beratasnamakan Biru Crystallia?
"Ikutin!" Titah Rendy sambil berlari mengikuti langkah cepat segerombolan suster tersebut. Ketika berbelok pada tikungan koridor dan di hadapkan oleh pertigaan, mereka kebingungan dan akhirnya kehilangan jejak disebabkan oleh keramaian orang yang berlalu lalang di sekitar pertigaan koridor. Dan mereka tak tahu, para suster itu bergerak ke kanan atau ke kiri, karena koridor kanan dan kiri juga memiliki koridor yang bercabang lagi.
"Ah! Kita kurang gercep!" Sesal Naura sambil menepuk dahi. Yang lain pun ikut mendesah kesal.
"Hiks..."
Suara isakan tersebut berhasil mengalihkan perhatian empat orang yang sedang celingak celinguk tak menentu.
Ivy menangis.
Mata orang rabun sekalipun bisa menyaksikan bahwa tubuh Ivy kini tak tegar, sekujur tubuhnya bergetar hebat dan kulitnya amat pucat. Alisha yang tak tahan dengan reaksi Ivy, bergeser dan memeluk gadis itu dengan erat. Semua tahu, kesedihan terbesar seorang sahabat adalah ketika melihat sahabatnya tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Bagas yang ikut menyaksikan pun merasakan bahwa hatinya kini sakit. Pertemuannya dengan Biru seolah memang skenario Tuhan yang disengaja. Obrolan singkat, kata-kata inspiratif, pelukan hangat, belaian lembut. Untuk apa Biru melakukan itu padanya? Semata-mata karena kasihan atau karena peduli atau karena hal lain yang jauh lebih dalam maknanya?
"Terus kita harus gimana?" Tanya Naura pasrah dengan tangan yang sibuk mengusap bahu Ivy.
Rendy terdiam, berpikir.
"Ya. Ya. Saya sedang berjalan ke sana. Tolong usahakan semaksimal mungkin sebelum saya datang. Maaf atas keterlambatan saya. Berikan saja---"
"Ikutin gue!" Rendy menjentikkan jari sambil berlari. Yang lain pun akhirnya kebingungan namun tak punya pilihan lain selain ikut berlari mengikuti Rendy.
"Ngapain sih, Ren?" Teriak Alisha yang masih tertinggal di belakang bersama Ivy.
Rendy diam tak menjawab. Ia terus berlari.
Rendy berbelok menukik ke arah kanan kemudian ke kiri dan menghentikan larinya ketika ia sampai pada sebuah koridor buntu. Koridor buntu yang terdapat satu ruangan dengan pintu besar berkaca buram. Diatas kaca tersebut tertulis dengan besar UNIT GAWAT DARURAT dengan lampu neon berwarna hijau.
"Gue yakin Biru disini. Gue tadi ngikutin dokter, feeling gue itu dokter yang nanganin Biru." Jelas Rendy ketika yang lain sudah menjatuhkan bokong di kursi tunggu berbahan metal.
Krieeet...
"Sus!" Panggil Bagas ketika ada salah seorang suster yang keluar dari ruangan tersebut.
"Ada apa, Mas?"
"Pasien yang ada di dalam itu namanya Biru Crystallia, bukan?" Tanya Bagas harap-harap cemas. Jantungnya berdegup kian tak menentu.
"Oh, betul. Nona Biru Cystallia yang sedang dalam masa perawatan di dalam. Ada apa, Mas?"
Yang lain menghela napas. Merasa lega namun masih amat cemas.
"Oh, nggak. Biru sakit apa, Sus?" Alisha angkat bicara, bertanya.
"Maaf, tetapi dalam perjanjian tertulis, kami dilarang untuk memberitahu apa penyakit pasien Biru kepada orang asing, pun kepada pasien sendiri." Jawab si suster dengan penuh sopan santun, "Jika tidak ada lagi yang bisa saya bantu, izinkan saya pergi."