"BAGAS!"
"Allahu Akbar!" Ucap Bik Ratih terkejut.
"Ya Allah Non Biru, ayo tenang, di minum dulu," Ujar Bik Ratih lembut seraya menyodorkan segelas air putih. Wanita paruh baya itu mengelus dadanya yang masih berdegup kencang saking kagetnya. Maklum, di usianya yang sudah lanjut ia menjadi sering kagetan dan terkadang latah.
Biru terduduk lemas di atas ranjang, seluruh tubuhnya bergetar hebat, nafasnya tersengal, keringat dingin mengucur deras membasahi tubuhnya. Gadis cantik itu menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya yang lembab dan sangat dingin jika disentuh oleh orang yang tangannya sedang dalam suhu normal.
"Non..." Bik Ratih mengelus pundak Biru, mencoba menenangkannya.
Biru masih setia dengan posisinya. Entahlah, ia bermimpi buruk barusan. Ia benar-benar takut saat ini, takut kalau-kalau mimpinya barusan bukanlah sekedar mimpi.
"Istighfar, Non."
Biru melepas kedua telapak tangan yang menutupi seluruh wajahnya. Matanya basah. Ya, ia sempat menangis barusan, ia benar-benar syok dan takut. Biru menatap Bik Ratih sendu dan mengangguk pelan. Tangannya yang pucat mencoba meraih gelas yang berisi air putih dari tangan keriput Bik Ratih dengan tangannya yang gemetar.
Gadis cantik itu tersenyum samar dan segera meneguk air putih hingga seperempat gelas. Ia mencoba menarik nafas sebanyak mungkin dan menghembuskannya pelan-pelan, terus begitu hingga ia mendapatkan ketenangan.
Saat merasa tenang ia menyandarkan badan ke tumpukan bantal yang sudah di susun oleh Bik Ratih. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Biru mencoba untuk menaikkan kaki kanannya dan memijak ke atas kasur, namun telapak kakinya terasa berdenyut, nyerinya sungguh menyiksa diri. Biru mengaduh kesakitan dan kembali meluruskan lagi kaki kanannya.
"Kakinya sakit, ya, Non? Kata Dokter tadi, kaki Non gak boleh di gerakin dulu, tunggu sampai bekas jahitannya menyatu ke kulit," Ujar Bik Ratih agak bingung saat menjelaskannya. Ia lupa bagaimana persisnya kata sang dokter, yang ia ingat, ya seperti itu, sepertinya.
"Iya begitu, Non."
Biru mengerutkan dahi, memang ada apa dengan telapak kaki kanannya? Biru mencoba mengangkat kaki kanannya dan di silangkan supaya ia bisa melihat seperti apa rupa kakinya saat ini.
Dahi Biru mengernyit, telapak kaki kanannya sudah terbalut kain perban dengan sangat rapi. Ia mengelus kain itu untuk sekedar mengingat, kejadian apa yang mengharuskan telapak kaki kanannya di balut oleh kain perban.
Cukup lama gadis itu mengingat, akhirnya lampu terang benderang meloncat keluar dari kepalanya. Ya, Biru ingat, beberapa jam yang lalu ia melihat suatu kejadian yang tak ingin di lihat oleh mata kepalanya sendiri, saat itu juga ia merasakan sesuatu hal yang juga tak ingin di rasakan oleh telapak kaki kanannya sendiri. Ya, beberapa jam yang lalu, ia menginjak pecahan beling, beling yang sangat lancip dan menembus hingga ke dalam kulit kakinya, agak sedikit merobek kulit dan membuat darah segar mengalir keluar dengan bebasnya.
Biru menghela napas gusar. Mengapa saat ia tak menginginkan sesuatu, sesuatu itu terjadi dengan sangat mudah? Dan di saat ia menginginkan sesuatu, sesuatu itu mengambang, seolah hanya sepercik harapan tanpa bisa menjanjikan kepastian?
Biru melirik jam dinding di kamarnya. Pukul 02.45 dini hari. Gadis cantik itu mendesah dan bersandar. Ia bingung, haruskah ia bersekolah hari ini atau tidak? Sebenarnya, ia ingin sekali bersekolah, bertemu Ivy dan yang lainnya, bercengkerama, bercanda dan tertawa. Namun rasanya, sang kaki tak mengizinkan dan menyuruhnya untuk bersandar manis di atas kasur.