Sore ini hujan turun sangat deras, petir pun saling sambar menyambar, membuat Biru menggigil ketakutan di balik selimutnya. Biru tidak menyukai petir, ia sangat takut terhadap petir.
Bik Ratih dengan langkah tertatih-tatih berjalan menuju kamar Biru yang berada di lantai 2, menaiki tangga dengan susah payah dengan sebuah nampan berisi secangkir teh hangat di tangan. Wajah Bik Ratih benar-benar menunjukkan bahwa ia sangat cemas.
Saat wanita paruh baya itu sampai di depan pintu kamar Biru, ia segera memanggil majikannya dengan penuh kelembutan.
"Non Biru..."
Tidak ada sahutan dari dalam, Bik Ratih mengulang panggilannya hingga 3 kali tetap tidak ada jawaban. Bik Ratih menghela nafas, perasaannya benar-benar tidak enak.
Bik Ratih mendorong pintu kamar majikannya yang tidak tertutup dengan rapat, memudahkannya untuk masuk. Bik Ratih berjalan mendekati Biru yang menyelimuti seluruh tubuhnya tanpa sisa sedikitpun. Wanita paruh baya tersebut meletakkan secangkir teh hangat ke atas brangkar.
"Non..." Bik Ratih mengguncang-guncangkan dengan pelan tubuh Biru.
Tidak ada respon dari Biru. Bik Ratih semakin khawatir, hujan belum juga reda dan petir terus bergemuruh hingga bumi terasa bergetar. Bik Ratih terduduk di tepi ranjang Biru, sekali lagi ia mengguncang pelan tubuh Biru yang tertutup selimut.
Tidak ada respon.
Dengan ragu, Bik Ratih menarik selimut yang menutupi seluruh badan Biru. Bik Ratih melotot kaget, betapa terkejutnya ia saat melihat tubuh Biru yang sangat pucat pasi, Bik Ratih menarik lengan Biru yang tengah berbaring miring ke kiri supaya Biru terlentang. Dan semakin terkejut Bik Ratih saat melihat hidung Biru penuh darah yang mengalir hingga ke dagu dan pipinya.
"YA ALLAH!" Pekik Bik Ratih. Wanita paruh baya tersebut benar-benar cemas tak tahu harus berbuat apa.
Bik Ratih menepuk-nepuk pipi Biru. Tetap mata Biru terpejam, bergerak sedikitpun tidak. Bik Ratih meneteskan air matanya tanpa sadar. Ia sangat menyayangi Biru, baginya Biru sudah seperti anak kandungnya sendiri, mengingat bahwa Bik Ratih tidak bisa mempunyai keturunan. Ia hanya mempunya anak tiri laki-laki yang kini sudah bekerja di sebuah pabrik konveksi di usia belianya.
"Ya Allah, Non... Sadar, Non..." Ujar Bik Ratih lirih. Bik Ratih berdiri dan mengambil beberapa lembar tisu kemudian mengelap darah yang membanjiri sebagian wajah Biru dengan tangan gemetar. Setelah bersih, Bik Ratih membuang tisu tersebut ke tempat sampah kecil yang ada di kamar Biru, lalu Bik Ratih turun ke bawah untuk menelepon salah satu orangtua Biru, untuk mengabari kondisi Biru saat ini.
Usai memencet nomor telepon Karin, Bik Ratih menempelkan telepon tersebut ke telinganya, belum terdengar suara Karin, masih suara nada sambung yang Bik Ratih dengar. Bik Ratih menghentak-hentakan kakinya dengan gelisah, ia sangat takut dan cemas.
Di lain tempat, Karin yang sedang sibuk berkutat di depan layar monitor mengabaikan suara getar ponselnya seakan enggan untuk di ganggu.
Bik Ratih kembali menangis saat nada sambung terputus, tanda Karin tidak menjawab teleponnya yang sudah hampir 10 kali panggilan. Dengan rasa pesimis, Bik Ratih memencet nomor telepon Panji, berharap Panji akan menjawab panggilannya.
Namun hasilnya nihil. Panji juga tidak menjawab telepon dari Bik Ratih.
"Sesibuk itu, toh? Anak kalian sakit ini! Kalau kenapa-napa gimana? Sekali-kali mikirin anakmu, beruntung kalian di anugerahi seorang anak, tidak seperti aku! Punya anak kok di sia-siakan!" Gerutu Bik Ratih kesal dengan logat jawanya yang sangat kental. Ia segera kembali ke kamar Biru dan mendapati Biru sedang terduduk di atas ranjangnya sambil bersandar.