"Mau bareng?"
"Bagas?"
Cowok itu tersenyum. Lagi-lagi menunjukan lesung pipinya yang mampu menghipnotis kaum hawa. Sebuah kecacatan yang indah. Biru melongo beberapa saat sebelum akhirnya ia tersadar oleh desiran angin yang menyapu matanya.
"Anu... g --- gue, gue cari ojek ke depan sekolah aja." Tolak Biru secara halus. Bagas memanyunkan bibir seraya mengangkat bahunya lalu berjalan keluar kelas dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam saku celana. Berjalan santai keluar meninggalkan Biru seorang diri.
Setelah melihat siluet Bagas hilang, Biru menghela napas. Sebetulnya, ia juga tidak tahu sejak kapan ada tukang ojek di depan sekolahnya. Ia hanya beralasan untuk tidak pulang bersama Bagas bersama sepeda merahnya. Ia tidak ingin Bagas mendengar suara jantungnya yang sedang berpacu hebat. Pasti akan sangat memalukan.
"Ah, ojek di sekitaran sini dimana, ya?" Tanya Biru pada dirinya sendiri. Ia menggendong tasnya, lalu menatap sekeliling kelas yang sudah kosong, berangsur kakinya berjalan keluar kelas.
Usai menutup pintu kelas, Biru membalikkan badan. Hampir saja ia berteriak jika ia tidak melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat ini.
"Ojek adanya di lampu merah sana. Jauh. Bareng sama gue juga gak di kenain biaya, kok." Ujar cowok yang berdiri di depan Biru dengan jarak yang sangat dekat. Biru hanya mampu membuka mulut dengan bola mata membesar.
Biru kembali mempertimbangkan. Jika di pikir-pikir memang kalau ia menolak lagi itu hanya akan merugikan dirinya sendiri. Belum lagi ia masih merasa lemas, mungkin efek dirinya yang belum sembuh total.
"Boleh, deh." Terima Biru pada akhirnya.
Bagas menjentikkan jari. Wajahnya semringah. Ia lalu berjalan menuju parkiran dengan langkah semangat dan kemudian membelokkan kaki ke parkiran paling ujung, tempat dimana sepeda-sepeda murid SMA itu berkumpul, berbaris rapi. Sedangkan Biru berjalan membuntuti Bagas dengan perasaan tak karuan. Dari tadi Biru gelisah, entah mengapa. Perasaannya campur aduk sampai ia meremas-remas jari-jemarinya yang mendingin tanpa sebab.
Bagas berhenti di belakang sepeda berwarna merah. Kemudian melepas kunci yang melilit di ban sepedanya. Biru hanya diam memperhatikan sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk berucap, "tapi, emang gak papa?" Tanya Biru merasa tak enak hati.
"Gak papa."
"Serius?"
"Tiga rius juga boleh."
"Apa, sih?"
Bagas terkekeh ketika melihat ekspresi Biru yang mulai bete. Mau memasang ekspresi seperti apapun juga, Biru tetap cantik apa adanya ia.
"Yaudah, ayo!" Ajak Bagas ketika ia sudah lebih dulu menduduki jok pengemudi. Dengan ragu, Biru menaiki sepeda Bagas dan duduk di jok belakang.
Seketika, otaknya kembali bernostalgia, saat dimana ia dipaksa pulang bersama oleh Bagas ketika hujan hendak menerjang kota saat mereka berdua sedang berada di taman komplek. Ia ingat perjuangan Bagas melawan rintik hujan yang mulai banyak agar Biru sampai di rumah tepat waktu, sebelum hujan turun dengan deras. Hanya, kali ini situasinya berbeda, cuaca sedang terik, tidak sedang buru-buru dan jika kemarin Bagas mengajaknya pulang dengan sikap dingin, sekarang Bagas mengajaknya pulang dengan sikap hangat.
"Maaf, ya. Cuma sepeda." Sesal Bagas ketika ia memulai satu kayuhan pada sepedanya agar bergerak melaju.
"Gak apa-apa."
"Oke. Um, tangan lo kenapa?"
Biru tersentak kaget. Ia mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. "Gak kok, cuma luka."