-Selamat Membaca-
Biru sudah siap dengan seragam putih abu-abu nya. Rambut yang sengaja ia kucir agar terlihat lebih segar, wajah yang sudah dipoles sedikit moisturizer ber-SPF dan bedak bayi tipis-tipis, juga sedikit olesan lipbalm yang memiliki aroma strawberry yang manis.
Cukup lama ia mematut diri di cermin. Luka bekas infus masih tertambal, mengganggu penampilannya. Tetapi, mau bagaimana lagi. Suster melarang membukanya untuk beberapa hari yang telah ditentukan.
Seakan tersadar sesuatu, Biru segera mencarinya di sekitar kasur. Ia mencari ponsel. Sudah selama ia terbaring di rumah sakit ia mematikan ponselnya. Ia yakin, Ivy pasti bawel mencarinya. Dalam hati, ia berucap maaf berkali-kali dengan perasaan geli.
Setelah ponsel Biru berhasil menyala dan beroperasi dengan normal, dugaan Biru ternyata benar. Lima ratus pesan dan 70 panggilan tak terjawab dari Ivy. Biru terkekeh. Belum sempat ia melihat semua isi dari pesan Ivy yang tak jauh dari kata-kata amukan, Karin memanggilnya.
"Ya!"
Biru menyambar tas sekolahnya dan berjalan tergesa menuju ke bawah. Hari ini, Karin yang mengantar Biru sekolah. Sesuai janji Karin, ia akan menjadi ibu yang baik untuk Biru. Padahal, Biru masih merasa kurang jika belum bertiga. Biru ingin, diantar sekolah oleh Karin dan Panji. Tapi, biarkanlah. Biru menghargai penuh apa yang Karin inginkan.
Selama perjalanan, Biru banyak diam seperti biasanya. Memperhatikan jalan, sedangkan Karin mengangguk-angguk mendengar lagu yang diputar dari radio.
"Sayang, nanti malam Ayah pulang ke rumah." Ujar Karin memecah suasana yang sedikit canggung.
Biru langsung mengalihkan perhatiannya. "Serius?" Tanya Biru dengan nada tak percaya karena bahagia.
Karin mengangguk.
"Nak, kami ingin memperbaiki segalanya dari dulu. Tapi, kami gak tahu harus bagaimana untuk memulainya. Jadi, Bunda mohon dukungan Biru untuk kelangsungan keluarga kita, ya, sayang." Tutur Karin dengan nada lembut seperti seorang ibu yang berbicara pada anak bayinya.
"Tanpa diminta, Biru bakalan dukung selama itu baik!" Seru Biru tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya lagi.
"Terima kasih, Nak." Karin tersenyum dan kembali melanjutkan menyetir.
Biru mengatupkan kedua telapak tangan dinginnya dan menempelkannya ke bibir. Matanya berkaca-kaca. Ia bahagia bukan main. Ia tidak tahu apa yang orangtuanya perbincangkan. Tetapi Biru memang percaya, setiap keluarga menginginkan kerukunan dan kedamaian karena ada cinta yang telah dipersatukan.
'Selamat berjuang untuk kita, Ayah, Bunda.'
💎💎💎
PLUK!
"Bodoh! Hiks! Gue khawatir sama lo! Gue kayak kambing bego disini tau, gak? Lo pergi gitu aja, gak ngomong apa-apa! Lo kemana sebenernya? Hiks---hiks!"
Biru terkejut ketika ada seseorang yang memeluknya dari belakang, mencengkeram sisi sisi bajunya, berbicara sambil menangis sesegukan.
"Vy?" Tebak Biru dengan nada bertanya tak yakin.
"Apa?! Gue bukan Ivy! Hiks!" Sahutnya galak. Biru mengernyitkan dahi. Sesaat kemudian Biru tertawa agak sedikit tertahan hingga tubuhnya berguncang.
"Eh? Biru kenapa?" Suara sol sepatu yang beradu dengan lantai menimbulkan bunyi khas.
"Ih! Kok lo malah ngakak?!" Protes gadis dengan suara cemperang yang sudah berpindah dari belakang tubuh Biru ke hadapannya.