Ch.16

1.1K 106 9
                                    

     Bagas menggeleng.

     Ia tidak mungkin salah dengar, telinganya masih berfungsi dengan sangat baik. Dengan susah payah, lelaki dingin dengan ekspresi yang selalu datar tersebut menelan kembali ludahnya yang sangat tiris.

     "Papa tahu, Papa salah, Papa gegabah. Papa tahu, teman kamu ini memang laknat bagi kamu. Tapi, Bagas --"

     "Udahlah, Pa! Bagas udah cukup bahagia tanpa kehadiran Papa dan dua orang bejat itu! Hidup Bagas udah tenang, Pa. Jangan usik lagi!" Potong Bagas dengan emosinya yang tertahan.

     Dengan sekuat tenaga, Bagas menghempas tangannya yang di cekal kuat oleh lelaki paruh baya tersebut. Papanya.

     Kedua teman -- mungkin Bagas tak lagi menyebutnya seperti itu, hanya menatap Bagas takut-takut saat lelaki itu menatapnya dengan sengit.

     Bagas berlari keluar rumah, ia butuh pelampiasan, ia butuh pelarian.

      Bagas terus mengayuh sepeda lipat merahnya dengan cepat di tengah kelamnya malam yang sunyi. Angin sepoi-sepoi begitu sangat menyejukkan dan menenangkan.

     Tak ada pilihan bagi lelaki itu, ia memilih untuk ke taman komplek. Setidaknya, pemandangan di taman komplek jauh lebih bagus di bandingkan hanya pemandangan rumah-rumah yang berjejer dengan ukuran dan bentuk yang berbeda.

     Kreek!

      Bagas menghempas tubuhnya dengan keras. Menarik nafas dan menghembuskan nya kasar. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan, terisak.

     "Hei? Lo kenapa?"

     Bagas menghentikan acara sedih-sedihannya. Berusaha menenangkan dirinya. Siapa tahu suara barusan hanyalah fiksi belaka bukan sebuah realita.

     "Gas."

     Bagas semakin yakin. Suara itu bukanlah delusinya saja, suara itu nyata.

     Dengan berat hati, Bagas menurunkan kedua telapak tangan yang menutupi seluruh wajahnya dan mencoba untuk menoleh usai mengusap air matanya.

     Mata Bagas terbelalak.

     Biru?

     Gadis itu kini tengah duduk di sampingnya dengan jarak yang tak terlalu jauh. Kulit gadis cantik itu benar-benar sangat pucat. Tetapi walaupun ia sangat pucat, malam ini gadis itu semakin terlihat sangat cantik walaupun hanya mengenakan dress hitam motif pita-pita kecil putih yang bertebaran dan jaket wol putih strip biru juga flat shoes kulit berwarna hitam. Rambutnya yang di kuncir asal semakin membuatnya terlihat sangat cantik.

     Biru menelengkan kepalanya untuk lebih jelas menatap Bagas. Ada rasa iba dalam benak gadis tersebut saat melihat matanya yang sembap. Ternyata, perasaan buruknya benar. Ada sesuatu hal telah terjadi di taman komplek.

     Usai acara makan malam bersama dengan keluarga kecilnya, Biru memutuskan untuk pergi ke taman komplek tanpa seizin Ayah, Bunda atau Bik Ratih.

     Perasaannya tidak nyaman kala itu, entah mengapa hatinya tergerak untuk melangkah menuju taman komplek untuk memastikan perasaan buruknya walaupun sebenarnya ia sangat takut keluar rumah sendirian saat malam hari.

     Namun entahlah, ia menjadi nekat. Seolah memiliki... Ikatan batin?

     "Lo kenapa?" Ulang Biru menanyakan hal yang sama.

      Bagas menggeleng dan tersenyum. Melemparkan pandangan ke segala arah dan berhenti di titik abstrak.

     Biru menggeleng lemah, "Mungkin memang pada dasarnya beban itu harus di jatuhkan,"

BIRU [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang