Ch.15

1.2K 111 10
                                    

     Biru terus memikirkan ucapan Ivy tadi di UKS.

     Sesekali ia menyesap hot chocolate nya dan mengedarkan pandangan ke jendela.

     Sore ini hujan turun cukup deras mengguyur bumi. Udara menurun hingga beberapa derajat celcius, menyebabkan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Syal berwarna peach yang terlilit di lehernya dan jaket wol berwarna putih strip biru yang ia kenakan seolah percuma.

     Untung saja, hujan kali ini petir tidak muncul dengan suara menggelegarnya-- yang akan membuat Biru meringkuk di balik selimut dan menggigil ketakutan.

      Tangan pucatnya meraih buku harian tebal warna-warni dan sebuah pena five in one. Dengan lima warna tinta dalam satu pena; hitam, merah, biru, kuning, dan hijau.

     Di sibaknya lembar demi lembar halaman dalam buku tersebut. Hingga ia berhenti di halaman kosong dengan kertas berwarna hijau.

     Ctak!

     Tinta berwarna biru-lah yang ia pilih dari ke lima warna tinta dalam pulpen tersebut. Biru menarik nafasnya dan menghembuskannya pelan. Goresan demi goresan meliuk indah di atas kertas berwarna hijau tersebut-- membentuk huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat.

     Menulis membutuhkan keterlibatan perasaan, walau hal jenis apapun yang kita tulis kita akan tetap melibatkannya secara tidak sadar.

    Usai menulis, ia menutup buku harian warna-warninya dan kembali menikmati hot chocolate yang sudah hangat-hangat kuku. Gadis itu menatap buku harian warna-warninya. Tanpa sadar kristal indah turun dari kelopak mata cantiknya dan mendarat tepat di atas sampul lusuh buku warna-warni kesayangannya.

     Punggungnya merendah, menjatuhkan kepala tepat di atas buku warna-warni kesayangannya dengan tumpuan pipi kanan.

     Matanya terpejam, ia berbisik pilu.

     "Kamu saksi bisu perjalanan hidup aku. Hingga nanti."

💎💎💎

     Dengan penuh rasa sayang, Bik Ratih mengompres dahi Biru yang sangat panas dengan air hangat. Ya, tiba-tiba saja gadis itu merasa imun tubuhnya melemah. Ia demam.

     Hujan di luar telah berhenti bersamaan dengan surutnya hot chocolate dalam cangkir. Namun, pada saat itu juga, Biru merasa kepalanya teramat sangat sakit, tubuhnya lemas, dan penglihatannya sedikit kabur.

      Gadis itu memutuskan untuk merebahkan diri untuk tidur di ranjangnya dan berpikir bahwa ia hanya kelelahan.

     Bik Ratih datang saat Biru tengah meringkuk di dalam selimut dengan warna kulitnya yang sangat pucat. Beliau mendekati Biru dan menempelkan telapak tangannya di dahi Biru. Bik Ratih sempat terkejut karena suhu Biru yang melonjak drastis tidak seperti sebelumnya.

      Karena iba, Bik Ratih segera keluar dari kamar anak majikannya untuk mengambil air kompres dan teh hangat.

     Wanita paruh baya itu kembali dengan baskom yang berisikan air kompres dan secangkir teh hangat yang uapnya masih mengepul.

     Bik Ratih duduk di tepi ranjang anak majikannya yang kondisinya saat ini jauh dari kata baik-baik saja. Dengan segenap hati yang tulus, wanita paruh baya itu mengompres dahi Biru dan mengelus pelan puncak kepala Biru.

BIRU [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang