| TIGA PULUH LIMA |

686 40 10
                                    

Pagi - pagi sekali sudah mulai terdengar keributan di ruang tengah, Ana mendesah kesal, kami sama-sama terganggu. Aku beranjak bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar, melihat apa yang terjadi. Lagi pula mereka seharusnya tidak berdebat sepagi ini.

Tania dan mom saling berdebat dengan gusar di ruang tengah, mereka saling mengutarakan argumen masing-masing. Tania terlihat kesal sedangkan mom merasa bersalah.


"Apa yang kalian debatkan pagi-pagi begini ?" tanya ku sambil mengacak-acak rambutku.

"Mom menghilangkan pasport ku !!" bentak tania kesal. Ia sepertinya akan pergi pagi-pagi, terlihat dari dandanan nya yang sudah rapi.

"Tidak, tania saja yang lupa menaruhnya. Mom tidak pernah mengambilnya valen" mom mencari pembelaan. Mereka masih tidak ingin mengalah.

"God !! itu hanya masalah sepele" jawabku tanpa memihak siapapun. "Kalian menganggu tidur kami" mereka mencoba tenang kemudian aku kembali ke dalam kamar.

Samar-samar masih terdengar perdebatan mereka, tapi tidak terlalu keras. Aku menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh ana, memastikan supaya tidurnya tidak terganggu lagi.







~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•







Hari ini aku akan pergi ke luar kota, ke Baverly Hills beberapa hari. Beberapa kontrak kerja dengan salah satu perusahaan multinasional disana masih belum di bicarakan.

Sedangkan berita tentang kenaikan harga ekonomi mulai melonjak, beberapa saham yang sudah ada di pasaran menjadi naik harganya.

Kondisi seperti ini, membuat ku harus segera melakukan plan yang tepat.


Atau kalau tidak, dalam beberapa minggu pasti hasil pengeluaran perusahaan akan bertambah. Dan dampaknya akan buruk.

"Aku sudah menyiapkan semua barang-barangmu" ana menutup koperku dan ia memandangku.

"Ya terima kasih" jawabku, aku beranjak ke arahnya.

"Kapan kau akan pulang ?" ana bertanya dengan khawatir.
"Secepatnya" jawabku dengan senang hati.

"Secepatnya, tapi kau selalu pulang dalam beberapa bulan" cibir ana, nafasnya mulai terputus-putus.

"Waktu di london itu berbeda" jelasku, aku berlutut di hadapannya. "Dulu kita pernah kesana berdua kan ?" aku mengingatkannya. Dan ana tersenyum sekilas, ia juga pasti mengingat kenangan itu.

"Tapi tidak sampai beberapa bulan" protesnya masih merajuk.

"Kau tidak ingin aku pergi" ucapku, aku tahu ia selalu merasa kesepian. Dan ia ingin aku bersamanya.

"Bukan begitu" ana merasa bersalah. "Cepatlah pulang, itu saja" perintahnya.



Aku segera meraihnya ke dalam pelukanku, menenangkan kegelisahaannya. Beberapa hari ini ana selalu merasa khawatir, ia sendiri juga tidak mengerti kenapa suasana hatinya selalu berubah. Perut ana kini semakin membesar dan menonjol, aku tidak sepenuhnya bisa mendekapnya dalam-dalam.

"Baiklah, ayo kita berangkat. Jangan sampai kau ketinggalan pesawatmu" bisik ana penuh semangat.

Semalam kami sudah memperdebatkan masalah ini, aku tidak ingin ana ikut mengantarkanku ke bandara. Tapi rupanya ia bersih keras untuk mengantarku, sifatnya yang keras kepala masih tetap ada.

"Aku tidak ingin kau ikut mengantarku" bantahku lirih, aku tidak ingin ia tersinggung.

"Sekali saja, aku ingin mengantarmu" rajuknya dengan manis, aku hanya memutar bola mataku. Terserah.

Why Me ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang