Bisa dibilang hidup Audrey tidak pernah tenang setelah ia mengetahui pengkhianatan kedua sahabatnya itu. Ia serasa terus dihantui oleh fakta-fakta pengkhianatan tersebut. Contohnya saja tadi, ia sedang mendapat panggilan alam di toilet sekolah. Tiba-tiba saja ada yang masuk ke dalam toilet sambil mengobrol. Audrey hafal jelas siapa pemilik suara-suara tersebut. Mau tidak mau, Audrey tinggal lebih lama untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Menurut lo, Audrey lagi kenapa sih?" Suara Claire terdengar.
"Nggak tau ah gue. Pusing ngurusin dia juga. Tiap ditanya, jawabnya nggak papa mulu. Dikira orang nggak capek apa tanyainnya," balas Lucy sambil merapikan rambutnya yang sudah rapi.
"Yah, tapi kan kita nggak boleh nyuekin dia gitu aja. Gue takut nanti dia tau kalau kita udah bohongin dia."
"Yaudah, biarin aja dia tau. Gue juga udah capek diem-diem pacaran sama Marco," gerutu Lucy sambil melipat tangannya di depan dada.
Claire melototkan kedua matanya. "Lo gila? Apa lo nggak kasian sama dia? Kalau dia tau, pasti kan dia bakal sakit hati banget."
Lucy menghembuskan napasnya dengan berat. "Iya gue tau. Tapi mau gimana? Gue sayang banget sama Marco. Dan belakangan ini kayaknya dia perduli banget sama Audrey coba."
Tanpa mereka ketahui, Audrey yang hanya berjarak beberapa langkah dari mereka juga ikut menghembuskan napasnya dengan berat. Ia memejamkan matanya sambil menahan rasa yang sudah berkecamuk di dadanya.
"Lagipula, salah dia juga. Masa dia nggak sadar kalau Marco udah nggak perduli sama dia? Dia terlalu polos. Gampang banget percaya sama orang lain," lanjut Lucy lagi.
Sesak dan sakit bercampur menjadi satu, menghasilkan rasa yang tidak bisa dinamakan. Bahkan, sahabatnya sendiri tahu bahwa ia terlalu gampang percaya pada orang lain tapi Lucy tidak memberitahunya. Bukankah tugas seorang sahabat adalah memberitahu sahabatnya sendiri jika ada yang salah?
Semakin kemari, Audrey semakin sadar satu hal. Ia semakin sadar bahwa dua perempuan di depan sana bukanlah sahabatnya. Benar kata Lucy, ia terlalu polos dan terlalu buta untuk melihat semua itu. Selama ini ia selalu mengira bahwa orang-orang di dekatnya menyayanginya seperti ia menyayangi mereka. Namun hidup tidak pernah adil. Manusia diperbolehkan memiliki lebih dari satu wajah.
Tanpa Audrey sadari, Lucy dan Claire sudah tidak ada lagi di sana. Ia pun menekan flush dan keluar dari bilik toilet. Ia memandangi penampilan dirinya di cermin besar. Kacau. Satu kata yang paling pantas untuk mendeskripsikannya.
"Kasian banget hidup lo," ucap Audrey pada bayangannya di cermin.
Karena tidak ingin bertemu siapa-siapa, Audrey menghindari kantin dan kelas. Hanya ada satu tempat yang muncul di otaknya. Maka dengan cepat, kakinya melangkah menuju perpustakaan yang selalu sepi. Ia berjalan menuju rak buku paling pojok untuk menghindari orang yang kemungkinan berada di sana. Yang ia perlukan sekarang adalah waktu untuk sendiri. Begitu sampai, ia duduk di lantai dan menarik kakinya menuju dadanya. Dagunya menempel pada lututnya.
"Astaga, ya Tuhan, ya Bapak," ucap seseorang yang tiba-tiba muncul.
Audrey menggeram kesal. Belum lima menit ia menenangkan diri, sudah ada saja yang mengganggunya. Demi apapun, yang ia inginkan hanyalah ketenangan.
"Lo ngapain duduk di sana? Mau jadi hantu?" tanya laki-laki tersebut dengan heran.
Dengan berat hati, Audrey mengangkat kepalanya dan menatap orang yang bertanya itu. Kedua matanya melebar begitu melihat siapa laki-laki tersebut. Reaksi yang sama ditunjukkan oleh laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lesson To Learn
Ficção Adolescente"When you think everything's going so well but then all of a sudden everything starts to fall apart." ••• Audrey selalu berpikir bahwa hidupnya sudah sempurna. Pacar yang tampan, dua sahabat yang selalu ada bersamanya, dan juga keluarga yang bahagia...