40. Reasons Why

15K 1.4K 194
                                        

"Aduh!" Audrey menjambak rambutnya dengan frustasi sambil melirik jam tangannya. Bel sekolah pasti sudah berbunyi dan ia masih dalam perjalanan ke sekolah. Ia sudah bisa membayangkan dirinya yang harus kembali mendapat hukuman berdiri sampai jam istirahat pertama.

Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Audrey berjalan dengan lemas memasuki sekolah. Pak Romi sudah siap berdiri di meja piket, menunggu murid-murid yang datang terlambat.

"Pagi, Pak," sapa Audrey dengan cengiran. "Maaf saya terlambat."

"Kamu ini kenapa terlambat? Tidurnya kemaleman ya?" tanya Pak Romi sambil berkacak pinggang.

Audrey menggeleng dengan cepat. "Saya tidurnya pagi kok, Pak. Cuma tadi alarm saya nggak bunyi, kayaknya jam saya rusak deh," dusta Audrey.

Pak Romi menyipitkan kedua matanya pada Audrey. "Kamu habis nangis semalaman ya?"

Audrey sebenarnya sudah tidak kaget jika ia mendapat pertanyaan seperti ini. Siapapun juga bisa melihat dengan jelas bahwa kedua mata Audrey bengkak dan juga merah. Mungkin satpam yang berdiri beberapa meter dari tempatnya berdiri sekarang pun bisa menebak dengan jelas. Hanya saja, ia tidak mau mengakuinya. "Nggak kok, Pak. Kenapa saya harus nangis semalaman?"

"Alah, kamu ini. Kalau kemarin itu kamu bisa bohongin saya, kali ini kamu nggak bisa bohongin saya. Siapa sih cowoknya? Saya mau bilangin ke dia supaya jangan bikin kamu patah hati. Soalnya kalau kamu lagi patah hati, pasti kamu datangnya terlambat deh," cerocos Pak Romi panjang lebar.

Audrey sendiri juga baru sadar bahwa ini baru pertama kalinya ia datang terlambat lagi setelah hari dimana ia dan Riel sama-sama datang terlambat. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah hari ini Riel juga datang terlambat atau tidak. Namun beberapa saat kemudian, ia langsung menghilangkan pikiran seperti itu dari otaknya. Ia tidak mau lagi memikirkan laki-laki yang tidak menyayanginya. Ia tidak mau menyiksa dirinya lebih jauh lagi.

"Yeh, saya nanya malah kamu cuekin." Ucapan Pak Romi yang terdengar jengkel menyadarkan Audrey dari lamunannya.

Audrey menatap Pak Romi dengan panik. "Eh, maaf, Pak, maaf. Saya keasikan melamun," ujar Audrey cepat.

Pak Romi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak papa, wajar kok. Kamu kan lagi patah hati. Yasudah, sana kamu berdiri di lapangan sampai jam istirahat pertama."

Audrey mengangguk lemah. "Oke. Saya permisi dulu, Pak," ucap Audrey sebelum berjalan ke arah lapangan dengan malas.

Ia mengira akan ada murid lain yang menemaninya berdiri di lapangan. Namun ternyata saat ia tiba di lapangan, tidak ada satupun murid yang sedang dihukum.

Sial banget sih. Audrey merutuk dalam hati. Padahal ia sangat berharap ada murid yang juga terlambat agar dia bisa mengobrol sehingga waktu tidak terasa lama. Namun sialnya, hanya ia seorang yang terlambat. Pasti rasanya akan sangat amat membosankan.

Saat Audrey hendak menaruh tasnya di lantai lapangan, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Bibirnya langsung terangkat ke atas begitu menyadari bahwa ada murid lain yang juga terlambat. Ia pun berbalik badan untuk melihat siapa murid tersebut.

Tubuhnya seketika membeku saat melihat Riel berjalan dengan santai ke arahnya. Awalnya Riel masih belum menyadari keberadaan Audrey. Namun, saat tatapan mereka bertemu, langkah Riel langsung memelan hampir berhenti. Audrey menatap Riel sekilas sebelum kembali berbalik badan. Rasanya ia ingin sekali meminta Pak Romi untuk memberikannya hukuman lain saja daripada ia harus berdiri bersama Riel sampai jam istirahat tiba. Bagaimana caranya ia menahan dirinya untuk terlihat kuat di depan laki-laki yang membuatnya menjadi perempuan yang lemah?

Lesson To Learn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang