16. Feelings

19.4K 2.1K 50
                                        

Kedua mata Riel langsung melebar mendengar perkataan Audrey. "Hah? Apaan sih?"

"Lo inget kan kemaren itu gue nanya siapa yang punya nomor telepon yang gue kirim ke lo?" tanya Audrey.

Riel mengangguk. "Terus?"

"Belakangan ini dia sms gue terus. Waktu gue sms lo, sebelumnya dia sms kalau dia lagi perhatiin gue. Dan semalem abis lo drop gue, dia sms gue bilang kalau dia tahu hari ini gue mau pergi sama lo. Dan barusan dia juga sms. Nih, lo baca sendiri," ucap Audrey sambil menyerahkan ponselnya pada Riel.

Riel membaca pesan itu dan juga pesan-pesan sebelumnya yang didapat Audrey. "Kenapa nggak lapor polisi?"

"Gue pikir orang ini cuma lagi bercanda. Makanya-"

"Hal kayak gini nggak mungkin bercanda! Dia jelas-jelas tahu apa yang lagi lo lakuin," potong Riel dengan tegas. "Nyawa lo bisa jadi ancaman."

Entah mengapa, memikirkan kemungkinan buruk yang akan menimpa Audrey membuat Riel marah. Siapapun orang ini sudah pasti punya maksud tertentu. Bisa jadi nyawa Audrey dalam bahaya sekarang. Dan bodohnya perempuan ini masih menganggap remeh masalah seperti ini.

Audrey mengigit bagian bawah bibirnya. "Bukan nyawa gue. Tapi nyawa lo," ucap Audrey sambil menatap wajah Riel yang babak belur.

"Maafin gue," ucap Audrey lagi. Kali ini dengan nada sedikit serak. Matanya sudah mulai terasa panas karena ialah penyebab Riel babak belur. Jika Riel tidak pergi dengannya, hal seperti ini sudah pasti tidak akan terjadi.

Riel menghembuskan napasnya dengan berat. "Bukan salah lo."

"Tapi kalau lo nggak pergi sama gue hari ini, lo pasti masih baik-baik aja. Seharusnya kemarin gue nggak ngajak lo. Dan lo sebaiknya jangan terlalu deket sama gue," ucap Audrey sambil menundukkan kepalanya.

Riel menatap Audrey dengan bingung. "Maksudnya?"

"Orang ini pasti mau nyakitin orang-orang yang deket sama gue. Dan lo itu termasuk orang yang deket sama gue. Cukup sekali aja gue ngebahayain nyawa lo."

"Jangan nangis deh. Nangis nggak akan nyelesaiin masalah," ucap Riel dengan datar. Bukannya ia berniat untuk kasar pada Audey, tapi ia tidak suka melihat perempuan menangis. Terlebih lagi, ia tidak tahu harus berbuat apa jika perempuan menangis.

Audrey mengangguk dan menahan air matanya agar tidak mengalir keluar. Ia harus kuat menghadapi masalah ini. Lagipula, ia sudah menghadapi berbagai macam masalah. Ia seharusnya sudah kebal akan masalah yang menghancurkan kebahagiaannya.

"Yaudah, lo istirahat aja deh. Gue balik dulu," ucap Audrey sambil kembali mengumpulkan kapas-kapas bekas dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di kamar Riel.

"Gue anterin balik." Riel belum sempat bangkit dari tempat tidurnya, namun Audrey sudah menaruh tangannya di kedua bahu Riel dan menahan Riel untuk tetap duduk.

Audrey menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Nggak."

"Lo tahu kan sekarang lo diperhatiin sama orang nggak jelas itu?" tanya Riel, berusaha membujuk Audrey untuk membiarkan dirinya mengantarkannya pulang.

"Gue tahu dan gue baru aja ngebahayain nyawa lo. Gue nggak mau ambil resiko itu lagi, Riel," jawab Audrey disertai hembusan napas berat. "Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

Riel menatap Audrey dengan tidak setuju. "Lo juga dalam bahaya. Bukannya kita harus berani mengambil resiko?"

"Ya, tapi bukan resiko yang begini. Udahlah, lo di rumah aja. Istirahat yang banyak," ucap Audrey sambil menepuk pundak Riel dengan pelan. "Gue bakal hati-hati."

Lesson To Learn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang