Mika menatap jam tangan, lalu mengembuskan napas. Sepuluh menit lagi. Dan Yudha belum datang.
Sejak pukul lima sore tadi, Mika sudah menyiapkan banyak camilan. Pisang kesukaan mereka, tiga batang cokelat, keripik singkong pedas. Orangtua Mika bahkan mengerti kalau semuanya untuk Yudha—cowok itu biasa menghabiskan malam tahun baru bareng Mika.
Saudara-saudara Mika juga menginap, tapi semuanya masih SD. Mika butuh teman yang bisa diajak ngobrol ngalor-ngidul, namun pesan online yang dia kirim saja belum dibalas. Ini membuatnya uring-uringan dan menghabiskan beberapa buah pisang lebih dulu. Dia bolak-balik mengganti channel TV dan menonton film secara acak, tidak benar-benar menyimak. Mama bahkan sudah menyuruhnya tidur dan tidak menunggu Yudha lebih lama, tapi Mika enggan.
Sekarang, tinggal lima menit lagi sebelum Desember tahun ini usai. Mika berguling di karpet yang dia hamparkan di depan TV. Napasnya kembali berembus. Dia merosot di sofa sambil berbaring menyamping.
Saat telinga Mika mendengar ledakan demi ledakan kembang api dari luar, matanya sudah tertutup. Disergap kantuk.
***
Mika dibenci hampir semua teman sekolahnya. Waktu kelas sembilan, dia pernah mengonfrontasi Iggy Candrasari—bintang kelas kesayangan guru—di kantin, di hadapan banyak anak. Perkaranya sepele; Mika tahu Iggy mengandalkan sontekan di ulangan harian bahasa Indonesia dan mendapat nilai tertinggi. Sementara Mika, yang sudah belajar susah payah dan mengerjakan sendiri, malah remidi. Nilainya kurang dua poin dari KKM, dan fakta bahwa gurunya memuji prestasi Iggy tidak membantu meredakan kegelisahannya.
Iggy cukup pendiam, jadi Mika pikir, cewek itu akan menurut dan mengakui kesalahannya kalau dipermalukan di depan umum. Mika tidak menduga kalau pendukung Iggy banyak, dan anak-anak malah berbalik melawannya.
Mika dituduh sirik, iri, dendam—segala cap yang sampai sekarang masih membuat telinganya tertusuk. Tidak ada yang mau mengajaknya bicara sejak saat itu. Mika sendiri heran dia masih bisa bertahan dan masuk sekolah setiap hari, seolah tidak terjadi apa-apa. Toh, guru BK juga tidak memanggilnya atau apa.
Di pelajaran olahraga, semua anak diam ketika Mika berinisiatif memulai hitungan pemanasan. Awalnya, Mika ragu untuk melanjutkan. Sampai Yudha dengan lantang ikut menghitung bersamanya. Cowok itu menyeringai ketika Mika menatap heran ke arahnya. Tapi Mika tahu, Yudha tidak keberatan memihaknya.
Belakangan, Mika tahu Yudha terkenal sebagai cowok yang mampu memanipulasi nilai rapor teman-temannya. Tantenya guru di SMP mereka, ibunya guru di SMA. Keuntungan yang diraih besar—Yudha bilang, diam-diam uang itu dia beri untuk ayahnya yang hobi judi. Mengetahui teman barunya sama-sama kriminal, membuat Mika merasa jauh lebih nyaman dari yang pernah dia rasakan.
Mika masih ingat dua tahun lalu, kelas sepuluh, teman-temannya membuat kejutan untuk Iggy yang berulang tahun. Kue tartnya besar, dengan barisan stroberi di bagian pinggir serta krim yang terlihat manis dan empuk. Mereka nggak segan-segan saling mencolekkan krim, sedangkan Mika hanya diam memperhatikan.
Memang menyebalkan punya hari ulang tahun yang sama dengan musuh bebuyutannya. Tapi Yudha mampu menemukan cara yang lebih baik untuk menghiburnya; memberikan sepotong kue tart cokelat kecil, dan memakannya bersama.
Sekarang, berdiri di depan gerbang setinggi dada, Mika membawa tiga batang cokelat yang kemarin malam dia simpan. Dia baru bisa keluar pukul dua belas siang, setelah orang-tuanya mengomel macam-macam karena membiarkan pintu tidak terkunci. Akibatnya, Mika terburu-buru hingga menguncit rambut dan berpakaian seadanya. Benar-benar benci gagasan dia terlambat mengucapkan selamat ulang tahun.
"Yud!" Ekspresi Mika berbinar-binar ketika seorang cowok melangkah ke arahnya, masih dalam balutan celana olahraga dan kaus putih lusuh. Rambutnya berantakan. Wajahnya letih, sorotnya sayu. Mika berdeham, tidak suka menunda-nunda, lalu segera berkata, "Selamat ulang tahun, ya." Tangannya mengulurkan dua batang cokelat. "Satu buat aku."
Yudha menatap pemberian Mika, lalu tersenyum tipis. "Thanks."
"Kenapa tadi malem—" Pertanyaan Mika berhenti saat Yudha mendongak, memberinya isyarat untuk menahan rasa penasarannya. Sepertinya bertanya aneh-aneh sambil berdiri di depan gerbang bukan keputusan yang tepat.
Suara gerendel gerbang yang dibuka terdengar. Yudha mengedikkan dagu, mengajak Mika masuk. Mereka duduk di kursi santai teras. Yudha menimang-nimang cokelat, Mika mengedarkan pandangan.
"Aku pindah sekolah," aku Yudha, mendadak.
Mika menoleh. Mengerjap-kerjap. Akhirnya.
"Bukan hal baru," balasnya, menarik napas panjang-panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
"Tapi, kita udah kelas dua belas. Apa..."
"Mama udah ngeberesin semua," sela Yudha. Jeda sejenak, lalu dia melanjutkan, "Mik, aku sayang kamu."
Mereka berdua jelas tahu maksud pernyataan itu.
"Yud, kamu alasan terbaikku buat nggak bunuh diri." Mika kembali menarik napas. Saat membuangnya keras-keras, tangannya digenggam Yudha. Erat. "Kamu temen terbaik yang pernah aku punya."
"Kamu harus punya temen. Lebih banyak lagi," Yudha memaksa.
"Pasti," tutur Mika, namun yang keluar malah bisikan. Napasnya tercekat. Tenggorokannya mendadak kering. Di dunia ini, yang paling enggan merelakannya mati adalah Yudha—di samping orangtua Mika, tentu. Dia tidak pernah sadar seberapa besar ketergantungannya atas Yudha, sampai detik ini.
"Pokoknya kalo hidup mulai nyusahin—"
"Ketawain aja," ganti Mika yang memotong. Kekehan kecil meluncur mulus dari bibirnya. "Yud, aku inget pas ultah dulu, kamu bilang, 'Anak-anak lain bisa patungan dan ngasih temen mereka kejutan. Tapi, punya satu orang yang ngerti kamu dan nerima kamu apa ada-nya, setiap hari, termasuk pas ulang tahun, itu lebih dari kejutan. Orang itu hadiah dari Tuhan.'" Mika menggigit bibir, balas menggenggam tangan Yudha. Awalnya ragu. Lalu, sedikit demi sedikit semakin mantap. "Yud, kamu hadiah paling sempurna yang Tuhan kasih buat aku."
Yudha tersenyum. "Kamu juga, Mik."
***
Seusai mengantar Mika ke gerbang dan memastikan cewek itu bakal baik-baik saja, Yudha kembali menyandarkan punggung di balik pintu kamarnya. Perlahan, dia membiarkan dirinya merosot ke lantai. Tangannya menggapai tengkuk, mengelusnya perlahan. Kejadian tadi malam kembali mengatung di benaknya.
Iggy, dengan rambut sebahu tergerai, mata nyalang, mengangkat botol bir tinggi-tinggi dan membenturkannya keras-keras ke kulit Yudha. Beberapa tahun belakangan, cewek itu selalu kalah taruhan—termasuk tadi malam. Reputasinya sebagai murid kesayangan guru jadi ikut tergelincir ke ambang jurang. Perjanjian mereka hanya mengubah nilai rapor, kecurangan dalam bentuk apa pun dilarang sampai bocor.
Yudha mendegut ludah. Seandainya Papa nggak bercerai dan menikahi tantenya—mama Iggy—mungkin dia tidak harus menyokong sepak terjang saudara sepupu merangkap tirinya. Mungkin dia tidak harus memalak teman-temannya dengan iming-iming nilai rapor tinggi, dan menggunakannya untuk menebus kekalahan Iggy. Mungkin dia tidak harus mengimbau anak-anak untuk patungan dan menyumbang uang jajannya demi kue tart Iggy. Mungkin dia bisa mengajak Mika berteman dengan normal, lalu menyatakan perasaannya dengan wajar, dan tetap ada di sekolah yang sama.
Yudha pikir, membantu Iggy akan membuat Papa mengakui keberadaannya. Namun, dia malah makin menghancurkan kehidupannya sendiri.
Dan Yudha nggak yakin Mika bakal tetap kuat menghadapi semuanya sendiri.
End
Author: Inasni Dyah R.
Genre: Teenlit
Editor: Ally Jane
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Pilihan
القصة القصيرةCerita-cerita yang ada di sini merupakan hasil karya para Memberdeul KANOI. Enjoy reading! ^_^