Aro lari menyusuri koridor rumah sakit, kalap. Keringat membanjiri tubuhnya bukan karena ia berlari tapi karena ketakutan.
Jangan ... Kumohon jangan sekarang!!. Doa ia rapalkan berkali-kali dalam hati juga kepalanya. Hingga ia menghempaskan pintu salah satu kamar dengan cukup kuat hingga menimbulkan bunyi gaduh.
Kemudian ia pun menghela nafas lega sambil melangkah masuk kedalam kamar.
"Syukurlah..." Aro menunduk keatas tubuh Tori diatas pembaringan kemudian memeluknya erat-erat dan tubuh gemetar.
"Hei... Aku nggak apa-apa, tenanglah." Bisik Tori menghibur di telinga Aro sambil mengusap punggung lebar suaminya yang tegang.
"Nggak apa-apa?!." Sentak Aro kasar, menjauh dan menatap Tori gusar. "Kamu tiba-tiba pingsan saat kamu lagi hamil. Kamu bilang nggak apa-apa!?. Kamu tahu nggak aku hampir saja nabrak orang karena panik diberitahu kamu tiba-tiba pingsan!!!."
"Hussssh jangan kencang-kencang, baby yang didalam stress dengar papanya marah-marah terus kayak setan." Tori menempelkan telunjuk di bibir sambil jemarinya yang lain mengelus perutnya yang masih rata.
Tentu saja Aro langsung diam, otomatis jemarinya mengelus perut Tori yang walau masih berusia 3 bulan sudah ada nyawa anaknya. Anak ketiga mereka. Oh keempat, karena kehamilan kedua merupakan anak kembar. Tapi sepertinya kehamilan ketiga ini memiliki masalah yang sangat serius. Tori lebih pucat dan sering kondisinya merosot. Sangat mencemaskan.
"Maaf aku membuatmu cemas."
Aro seketika menatap manik mata isterinya lekat. Ada ketakutan disana. Tentu saja Tori lah yang paling takut saat ini. Setiap kehamilannya adalah resiko kematian untuknya. Denyut jantungnya yang dibawah rata-rata normal harus terus di topang oleh obat. Jika tidak disiplin dalam pengobatannya, jantungnya sewaktu-waktu bisa saja berhenti.
"Aku rasa sebaiknya kita gugurkan saja." Aro menatap Tori tegas tapi nadanya gemetar karena emosi.
"Nggak mau!." Seketika Tori bergerak menjauh dan memeluk perutnya penuh proteksi. "Kamu gila?, ini anakmu!."
"Kita sudah punya 3 orang putra yang luar biasa. Aku tidak mau mengorbankanmu demi anak yang tidak lagi kubutuhkan." Sahut Aro datar.
Suara tamparan keras menggelegar di ruangan itu, menciptakan keheningan yang penuh amarah dan kekecewaan.
"Keluar!." Usir Tori dingin, ia murka saat ini. Kemurkaan yang jarang ia tunjukkan. Aro sampai takut melihat Tori.
"Aku lebih baik mati dari pada membunuh anakku. Kamu nggak pantas jadi ayah dari anak ini. KELUAR!!!." Tori berteriak histeris dan tubuhnya menegang seperti senar penuh kewaspadaan. Ia siap melindungi calon anaknya bahkan dari suaminya sekalipun.
"Tidak dalam sekejap pun aku akan meninggalkanmu." Tegas Aro tapi nadanya mulai melembut. "Karena aku nggak mau kehilanganmu. Dua kehamilan, semuanya beresiko kematian bagimu. Menurutmu bagaimana aku menghadapi kenyataan itu setiap 9 bulan dalam semua kehamilanmu!." Raut wajah Aro begitu sedih juga dirundung berbagai emosi takut juga cemas yang bercampur hingga memposisikan dirinya diambang kehilangan akal.
Tatapan dingin Tori pun ikut melembut dan sikapnya tidak lagi tegang. Betul, ia sudah membuat Aro takut setiap ia memberitahu kalau dirinya hamil. Tapi dua kehamilannya lancar dan ia sangat sehat begitupula anak-anak yang ia lahirkan. Hanya saja ada nyawa rentan yang sudah tumbuh di dalam dirinya. Sikap Tori memeluk perutnya tidak berubah. "Tapi kamu mau menyingkirkan anak ini, aku nggak mau."
Jalan buntu bagi Aro. Dan sekali lagi ia mengalah. Mengalah pada tekad seorang ibu yang melindungi anak yang bahkan belum lahir. Mengalah pada wanita yang sangat ia cintai dan memberinya banyak kebahagian dalam hidupnya.
Kalut, Aro hanya bisa diam dan kecewa karena Tori begitu egois mengabaikan lagi perasaannya.
Ia juga seorang Ayah. Ia selalu begitu protektif pada anak-anaknya. Tapi ia juga seorang pria yang begitu mencintai isterinya. Ia selalu ingin bersama Tori selama ia hidup. Penyakit kelainan jantung Tori sudah memberinya keikhlasan kalau mereka mungkin tidak akan memiliki anak. Saat Tori hamil memang memberinya rasa bahagia yang luar biasa. Tapi resikonya terlalu besar untuk ia tanggung. Sejujurnya, ia tidak sanggup merasakan hal itu lagi.
"Aro..." Panggil Tori lembut hingga Aro yang tadi menunduk lesu kembali menatap isterinya penuh harap.
"Kamu pernah janji, walau aku nggak ada kamu akan tetap mencintai anak-anak kita. Aku menagihnya sekarang." Sorot mata Tori penuh permohonan.
Aro menelan ludah. Janjinya itu ia berikan tanpa tahu apapun. Tidak soal masa lalu Tori, tidak dengan kelainan jantungnya. Sekarang ia merasa di jebak. Sialan.
Pintu kamar bergerak terbuka perlahan. Dokter Fani muncul sambil tersenyum tipis menatap pasiennya yang kelihatan tegang pada suaminya. Pasangan unik ini datang padanya 5 tahun lalu lalu dalam keadaan lebih parah dari sekarang. Kasus mereka memang berat tapi entah bagaimana semakin mengeratkan hubungan mereka. Dan sekarang, ada masalah berat yang sama tapi ini semakin berat.
"Gimana perasaan kamu Tori?," tanya Fani lembut sambil menyentuh pergelangan tangan Tori dan menghitung detaknya seirama dengan arloji rantai emas mungil yang ada di pergelangan tangannya.
"Sudah mendingan dok. Cuma agak lemas aja." Tori mengangguk pelan. Aro tidak bergerak dari ujung tempat tidur. Memperhatikan Tori dengan seksama.
Fani melirik Aro dan memahami kekhawatirannya. Jadi ia harus memberikan solusi bagi mereka. Fani berdiri tegas diantara mereka.
"Jantung Tori semakin memburuk. Kemungkinan ia pingsan akan semakin sering terjadi dan bisa dimana saja. Saya menganjurkan bed rest total."
Keheningan meliputi sekeliling mereka dengan tekanan yang sangat besar. Pundak Tori melorot turun pasrah menerima kondisinya. Aro kian tegang dan ekspresinya kian pias seakan menerima kabar kematian.
"Kemudian, kita harus mencari donor jantung bagi Tori secepatnya. Kita akan melakukan cangkok jantung."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOLD ME
Romance"Hubungan kita aneh dan absurd. Lo bahkan nggak suka cewek bertato, yakin mau lanjutin rencana para kakek ini?. Pernikahan ini, akan jadi neraka buat lo." "Neraka buat gue?, bagaimana dengan lo?," Aro mengangkat alisnya. Tori menyisir helai rambutny...