Bagian 24 : Ambang Batas

123K 8.3K 79
                                    

Tori tidak mengangkat ponsel yang terus berdering dari Aro. Saat ini ia butuh sendiri dan ia ingin teriak hingga tenggorokan sakit dan airmata habis. Jadi ia pergi ke pantai ancol malam-malam dan menangis hingga perutnya, dadanya dan kepalanya sakit. Gelapnya malam, udara laut yang hangat membuat Tori sedikit lebih tenang. Ia tidak pulang dan hanya berkeliaran dijalanan, mengunjungi rumah singgah tempat dulu ia pernah tinggal. Membawa banyak makanan untuk anak-anak dan mengobrol dengan Bunda Nanni.

"Masa lalu masih menghantuimu nak?," Nani mengusap wajah Tori yang matanya bengkak dan pipinya lengket karena air mata.

Tori mengangguk dan bercerita tentang kondisinya. Nani mendesah dan mengangguk.

"Takdir membawamu kearah yang tidak kamu sangka. Tuhan punya rencana dibalik segalanya. Sabar, pasrah dan ikuti kata hatimu. Jangan lupa berdoa, minta jalan keluar yang terbaik."

Petuah bunda Nani membuat Tori lebih tenang. Ia baru pulang setelah jam 3 pagi dengan taksi. Memberi sedikit uang yang memang selalu ia berikan tiap bulan pada bunda Nani. Nani memeluknya erat dan berbisik bahwa ia mencintai Tori. Tori langsung terisak lagi.

Saat tiba, Tori mengeluarkan ponselnya dan mendapati lebih dari 30 panggilan tak terjawab dari Aro lebihnya dari Sisi. Lalu Sms berisi pertanyaan dia dimana, kenapa ponselnya nggak diangkat dan makian. Sisi juga sama. Lalu Errol hanya satu, "hubungi Aro, dia menggangu dan memaki Sisi."

Apa sih yang Aro mau?. Sikapnya seperti suami yang cemas karena isterinya nggak pulang dan nggak kasih kabar. Jika Aro cemas, berarti Aro perduli padanya. Untuk apa? Tori membalas sms Aro 'Aku sudah pulang. Berhenti perduli pada ku.'

belum sempat Tori meletakkan ponselnya, benda itu berdering, panggilan dari Aro. Tori memandang langit-langit dengan senewen. Mau pria ini apa sih?.

"Apa?," sahut Tori ketus.

"Aku akan menjemputmu jam 7."

Belum sempat Tori menyahut, hubungan diputus. Tori kesal luar biasa dan nyaris membanting ponslnya saking emosi. Cowok sialaaaan.

Tori sudah pergi lebih dulu ke RS untuk ambil motor dan membawakan sarapan untuk Sultan yang selalu ia lakukan. Ia tidak tidur sama sekali semalam dan hanya berbaring nyalang. Setiap ia memejamkan mata, air mata menetes. Jadi moodnya saaaaangat jelek dan ia benci harus ke Bizare untuk meeting dengan Budiman dkk. Ia benci semua yang berhubungan dengan Aro. Bahkan saat berpapasan dengan Ratna saat keluar dari RS, ia hanya memberi salam singkat dengan ekspresi muram.

Ponselnya berdering. Aro. Tori menatap ponsel dengan posisi sudah duduk diatas motornya. Menahan kesal Tori menjawab panggilan itu.

"Apa kamu sengaja bikin aku marah Tori?," suara Aro datar dan dingin, namun tentu saja, tekanannya tajam mengindikasi ia marah besar.

"Untuk apa kamu marah?, aku salah apa sama kamu?," sahut Tori ketus.

"Kamu pulang jam 4 pagi entah dari mana, nggak kasih kabar, kamu juga nggak angkat telepon aku?!, kamu sudah berbuat salah dan masih nanya?!," nada suara Aro meninggi tanda mulai lepas kendali. "Sekarang kamu pergi nggak kabarin aku pada hal tahu aku akan jemput kamu!!!."

Tori menarik nafas dan mengurut keningnya yang berdenyut. "Aro, bisa kita bahas ini nanti?, aku sedang dijalan. Bye." Tori menutup panggilan dan meletakkan ponselnya didalam saku jaketnya. Percuma berdebat sekarang. Ia tidak perduli lagi apa mau Aro. Tori pun meluncur ngebut.

Selama hidupnya yang terkendali, ia tidak pernah semarah ini, seemosional ini, sekesal ini pada seorang perempuan. Padahal Aro mencemaskannya tapi Tori mengabaikannya. Aro memberinya perhatian, Tori melemparnya kembali ke mukanya. Aro begitu marah tapi juga mengiginkan Tori didekatnya. Menatap mata kijangnya dan mencium bibirnya serta memeluknya lagi. Semalam ia memimpikan Tori dan itu membuatnya frustasi karena Aro tidak bisa menghubunginya.

Saat Bibi Hilda mengatakan kalau Tori mendengar pembicaraannya dengan Diana, Aro merasa sangat bersalah. Itu ucapan kasar dan merendahkan. Tentu saja Tori marah. Tapi Tori tidak pernah marah lebih dulu. Ia gadis yang sangat tenang juga terkendali dibalik gaya urakannya. Aro resah, sesuatu terjadi pada dirinya dan ia tidak mengerti apa itu.

"Paul, kirim bunga untuk Tori," ujar Aro pada sekretarisnya yang duduk didepan bersama supir.

"Eh bunga untuk nona Tori?, baik. Ada pesan yang ingin anda sampaikan?," Paul menoleh dengan alis terangkat.

Aro ingin minta maaf tapi ia gengsi. "Tidak. Sebut saja itu dariku dan undangan makan siang diruanganku."

"Baik pak." Paul mengangguk.

Apa Tori suka bunga?, apa jenis yang ia sukai?. Aro menatap keluar dan teringat Tori.

"Kembalikan bunganya," Tori menyuruh Paul mengambil lagi buket bunga mawar segar berwarna putih setelah melihat kartu pesan yang disematkan disela-selanya.

Paul terbelalak. Tepatnya seisi ruang rapat majalah Bizare terbelalak terutama Sekar.

"Tapi nona Tori saya ..." Paul gelagapan sambil memohon pada Tori.

"Maaf Paul, kamu jadi repot. Tapi aku nggak suka bunga mawar, benci sekali. Dan aku menolak undangan itu, bilang padanya aku sibuk." jelas Tori sabar pada Paul. Setelah mengatakannya ia meminta Budiman melanjuntukan presentasi sambil mengabaikan Paul.

Paul pun keluar ruangan dan merasa takut dengan reaksi Aro jika melihat bunga ini dikembalikan beserta penolakan undangan makan siang.

Aro menatap bunga mawar putih indah itu dan tidak bisa lagi berkata apa-apa. Tori menolaknya. Amarahnya meledak tapi rasa bersalah menyiramnya hingga ia tidak bisa melakukan apapun selain menatap bunga itu. Ia tidak bisa bekerja sebelum memelihat Tori. Otaknya mendadak buntu.

Masa bodo dengan harga diri, ia bisa gila jika tidak segera melakukannya. Aro beranjak pergi keluar dari ruangan, dengan raut serius membuat siapapun yang didepannya buru-buru menyingkir karena ngeri.

"Hebat banget kamu nolak pemberian Aro didepan orang banyak, mau bikin kakaku malu?!," sergah Sekar saat selesai meeting dan ruangan sudah tidak ada orang kecuali mereka.

"Kamu nggak tahu apa-apa, jadi jangan ikut campur!" sahut Tori santai. Sebenarnya ia terlalu lelah untuk cekcok saat ini. Ia tidak tidur, emosinya seolah ditekan terlalu kuat hingga dadanya nyaris meledak dan kepalanya begitu pening saat ini.

"Dia keluargaku dekatku satu-satunya dan aku nggak terima dia disakiti terus oleh kalian. Pertama Cindy, sekaran kamu, apa sih hebatnya kalian?, beraninya mempermainkan orang?," sergah Sekar marah sambil teriak murka.

Kata-kata Sekar menohok dan tepat menekan luka lama yang terbuka sedikit demi sedikit. Tapi Tori tahu, siapaun tidak akan mengerti karena tidak ada yang tahu hubungan sebenarnya antara ia dan Cindy. Percuma dan hanya menghabiskan tenaganya. Tori ingin menolak tuduhan itu, tapi ia terlanjur sakit hati dan lelah berargumen.

"Terserah apa yang kamu pikirkan Sekar, tapi aku nggak pernah akan menyakiti siapapun didalam keluargamu terutama Aro." Sahut Tori datar. "Aku permisi, aku tidak punya waktu dengan topik ini berulang kali."

Tori berbalik pergi tapi Sekar menahannya dengan kata-kata yang membuat Tori tersentak, "Ayahnya saja suka selingkuh sudah pasti anaknya juga. Tabiatnya aja udah jelek."

Dalam suasan jalanan Tori sudah berbalik dan merobek mulut Sekar yang culas. Tapi mentalnya terlanjur ambruk dan jiwanya terlanjur sakit. Ia hanya mengabaikan Sekar dan lanjut melangkah. Tapi langkahnya terhenti, Aro berdiri menjulang dihadapannya.

"Kamu mau kemana?," Aro meraih lengan Tori kasar.

Tori menengadah menatap pria itu. Tampan tapi muram. Tori sudah tidak kuat lagi, ia perlu rebah dan tidur. "Aku mau pulang. Tolong menyingkirlah Aro." jawab Tori pelan.

"Kamu nggak bisa pergi kemanapun tanpa menjawab aku, kemarin kamu kemana? kenapa kamu menolak bunga dan ajakan makan siangku?, kenapa ..."

Desakan Aro dan tekanan itu membuat Tori melayang.

Tori ambruk.

HOLD METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang