Bagian 9 : Relationship

123K 7.9K 101
                                    

Akhirnya mereka memutuskan pulang karena waktu sudah menunjukkan jam 6 pagi. Stephen pulang dengan keinginan kembali pada saat jam makan siang.

Tori hanya pulang cuci muka, sikat gigi, ganti baju dan pergi ke kantor Glitter. Karena takut ngantuk di jalan, Tori memutuskan pergi dengan bus.

Sepanjang hari, Tori bekerja seperti zombie. Ia kurang tidur, dan pikirannya tercampur aduk. Dengan mata panda, ia mempersiapkan rencana pemotretan untuk dipersiapkan oleh bagian logistik. Memeriksa beberapa kali, Tori berjalan terhuyung ke tempat Budiman.

"Loh, kenapa Tor?," tanya Budiman kaget.

Tori hanya tersenyum dan menggeleng. "Hanya kurang tidur. Ini tolong di cek ya." Tori memberikan properti kebutuhan Pemotretan.

"Kalau kurang sehat, pulang aja Tor, nggak apa-apa." Budiman menatap Tori was-was.

Tori akhirnya menyerah lalu mengangguk mengikuti saran Budiman. Bergumam terima kasih Tori keluar dari ruangan dan langsung berberes di mejanya. Ia lelah, banyak pikiran dan masih sangat cemas memikirkan Erika. Dan ia tidak terbiasa menceritakan masalahnya dengan orang lain, mengeluhkan kondisinya pada orang lain. Tori biasa melakukan segalanya sendiri, menanggung perasaannya sendirian. Buksn karena ia tidak butuh orang lain, tapi krn ia terbiasa.

Tori melambai pada teman-teman Glitter yang sudah mulai kenal dan akrab. Hanya menjawab kalau ia ijin karena kurang sehat pada rekan yang bertanya. Ia tidak mau menghubungi Errol atau Sisi untuk menjemputnya karena mereka juga pasti lelah.

Sambil bersandar di dalam lift, Tori tidak sadar kalau lift itu naik bukan turun, karena ia bersandar di bagian belakang, ia tidak sempat keluar atau memencet menuju lantai bawah. Jadi ia pasrah. Tori bersandar dengan mata terpejam tapi mustahil untuk bisa tidur. Kepalanya sakit tapi cukup mampu untuk pulang sendiri.

Dan Aro masuk bersama Paul. Pria itu menatap Tori, tapi Tori hanya menatapnya sekilas lalu memejamkan mata sambil bersidekap dan bersandar tanpa berusaha menegur Aro. Ia ingat keputusannya untuk tidak bicara pada Aro kecuali soal pekerjaan.

Karena ia memejamkan mata, Tori tidak tahu apa Aro menatapnya atau tidak. Tapi jantungnya berdegup kencang, dan bulu kuduknya meremang. Tori bertahan tidak membuka matanya.

Saat bunyi ting, Tori membuka matanya, melihat nomor lantai dan keluar tanpa menatap Aro.

Selama itu, Aro menatap Tori, mengamati bentuk wajahnya yang berbentuk hati, alis melengkung indah, bulu mata lebat dan lentik, bentuk bibirnya melengkung lembut dan menggemaskan. Rambutnya di cepol sehingga jenjang lehernya terlihat indah. Aromanya sangat enak. Tapi wajahnya pucat dan nampak amat lelah. Sialnya, gadis ini sama sekali tidak menatapnya atau menegurnya atau bersiksp sopan padanya. Pergi begitu saja seakan Aro tidak ada.

Aro melotot menatap kepergian Tori sementara Paul pura-pura tidak lihat apapun.

"Gadis itu benar-benar ...." geram Aro kesal. "Apa dia marah karena perkataanku kemarin?" gumam Aro pelan pada dirinya sendiri.

"Pak Aro?," Paul menatap bosnya bingung, soalnya Aro bicara sendiri seperti orang gila.

Aro cepat-cepat naik ke Lexusnya dan berlalu dari sana.

"Quil, sudah ada perkembangan laporan soal Viktori Akbar?," Aro menghubungi seseorang melalui ponselnya.

"Ya Tuan. Saya ada di daerah Muara karang, saya akan ke tempat anda memberi laporan lengkap."

"Tidak, aku yang ke tempatmu." sahut Aro tegas.

"Baik tuan."

Ia penasaran soal Tori, dan ingin tahu siapa gadis itu sebenarnya.

Mereka bertemu di sebuah tempat sepi, sebuah bangunan tua yang belum selesai. Quil, penelidik pribadi keluarga Subara menyerahkan sebuah berkas pada Aro.

"Cucu Stephen Nugroho, putri dari Rudi Dharma. Dia, saudari tiri dari mantan isteri anda tuan."

HOLD METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang