Bagian 18 : Even a Strong Lady still a woman

122K 10.8K 143
                                    

Terbangun dengan perasaan lebih ringan dan menyenangkan dibandingkan hari-hari sebelumnya, Tori membuka matanya. Lalu ia menatap Aro yang sedang duduk disisi pembaringannya sambil menggenggam jemarinya dengan ibu jari Aro membelai buku jari Tori lembut. Tatapannya hangat juga khawatir. Tori mengerjapkan mata, bingung tapi menikmati apa yang Aro lakukan dengan gerakan sederhana itu.

"Kalau ada yang lihat, mereka akan mengira kita ini sepasang kekasih." komentar Tori dengan nada masih mengantuk.

Aro tersenyum tipis. Jemarinya tidak berhenti menggenggam dan membelai jemari Tori yang mungil tapi sedikit kasar dan kapalan. "Kita memang akan menikah. Nggak ada yang aneh. Kamu tadi bermimpi, kalau aku menggenggam jemarimu, kamu jadi tenang, kalau kulepas, kamu gelisah lagi."

Kaget dengan informasi itu, Tori menarik jemarinya perlahan dan mulai gelisah. "Apa aku mengigau?" Tori bergerak bangun untuk duduk di pembaringan.

"Ya, sedikit." jawab Aro lembut sambil berpindah duduk dari pembaringan Tori.

Tori diam membeku dan menatap ke luar jendela. Klinik itu ada di pinggir pantai. Kecil tapi bersih. Karena letaknya dekat pantai, pemandangannya juga ke arah pantai yang indah. Hanya saja tatapan Tori kosong dan muram. Punggungnya mulai berdenyut nyeri setiap ia selesai mimpi buruk atau ingatan masa lalunya mendera.

"Tori..."

"Aku nggak apa-apa, cuma mimpi buruk." potong Tori lemah. Ia kembali menoleh pada Aro yang hari ini sangat memperhatikannya. "Kalau ... kamu bukan tunanganku, nggak ada hubungan apa-apa antara aku dan kamu, apa kamu akan seperhatian ini?," tanya Tori ingin tahu.

Aro termangu ditanya seperti itu. Saat ia menatap mata kijang milik Tori, yang ada hanya kesungguhan. Tidak apa jika jawabannya menyakitkan asalkan jujur. "nggak, aku nggak akan seperhatian ini." sahut Aro penuh penyesalan. "Aku bukan orang yang akan memberikan perhatian pada sembarang orang."

Tori menatap Aro dan kemudian mendengus tertawa, "Waaaah memang itulah kau." Tori bersandar sambil menatap Aro yang menatapnya seakan ia orang gila. "Terima kasih untuk jujur. Aku berharap kita akan selalu jujur, walau itu menyakitkan, tapi nggak apa-apa" Tori tersenyum lebar.

Pertama kali dalam hidupnya, Aro merasa ringan dan santai bahkan nyaman. Tori memberinya ruang untuk menjadikan dirinya apa adanya. Bukan seorang Dirut, pewaris atau pria lajang yang diminati. Hanya dirinya, sebagai pribadi.

"Kamu yang sedang sakit, kenapa jadi kamu yang menghibur?"

"Aku nggak menghibur," Tori mengangkat bahu, "hanya berusaha realistis."

"Dan... apa kamu mau cerita soal mimpimu?" Aro mengerutkan kening, menunggu.

Tatapan Tori tiba-tiba kosong dan menderita. Ia berusaha menyembunyikannya dengan memejamkan mata dan menggeleng. "aku belum siap cerita apa pun. Lagipula itu cuma mimpi."

Aro mengangguk dan menatap Tori dalam-dalam. "Baik, saat waktunya tepat."

Akhirnya waktu besuk pun tiba. Dea dan Edo memanjat naik pembaringan Tori dan bertanya dengan ekspresi khawatir kenapa Tori pingsan. Dalam waktu singkat dua anak itu sudah dekat dengan Tori. Para kru yang menjenguk tetap terlihat khawatir. Budiman menatap Tori dengan cemas dan memeluknya spontan. Sikap itu membuat Aro yang melihat dari jarak lain melotot tidak senang.

"Kami cemas Tori, kalau jadwalnya terlalu padat lo tinggal bilang jadi nggak perlu diforsir begini...." Budiman menatap Tori dengan menyeluruh, sedikit lega karena Tori sudah tidak terlalu pucat.

"Ya ampun Bud, gue baik-baik aja, beneran. Besok pagi udah bisa pulang, lusa pemotretan lagi." Tori menepuk bahu Budiman menenangkan pria itu. Bagaimanapun, mereka sudah jadi teman baik selama Proyek ini berlangsung. Cepat, efisien dan mudah bekerjasama.

HOLD METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang