Bagian 15 : Setiap Penawaran Ada Harganya

116K 8.3K 72
                                    

-Jakarta-

Sekembalinya dari Bromo, Tori menyibukkan diri hingga sepertinya ia tidak beristirahat dan memikirkan perjodohannya dengan Aro. Stephen sudah mengkonfirmasi soal siapa yang menjadi calon suaminya. Mengenai Cindy, Stephen menganggap itu bukan masalah karena mereka sudah bercerai. Jika proyek sudah selesai, pernikahan akan segera dilaksanakan. Pihak Subara sudah mendesak.

Berlari kuat hingga semua ototnya berteriak minta ampun, Tori perlahan berhenti dengan terengah di pinggir joging track dekat kompleks rumahnya. Keringat mengucur deras dan membasahi punggung tshirt longgarnya. Memutuskan duduk berselonjor dibangku taman, Tori pun menunduk sambil mengatur nafasnya, membenamkan wajahnya ke atas handuk kecil yang ia pakai. 3 hari sejak dari Bromo, ia tidak bisa tidur nyenyak. Mimpi buruk mendatanginya setiap malam, Tori bangun dengan berlinang air mata. Dadanya, punggungnya, kepalanya sakit.

"Anak bermasalah bodoh seharusnya lu nggak dilahirkan tahu!" suara ayahnya mengalahkan lecutan gesper di punggungnya. Sementara Cindy dan ibu tirinya menatapnya dari belakang ayahnya dengan tatapan benci. Juga puas.

Kemudian ia mengetahui bahwa Cindy adalah putri ayahnya. Lahir dari wanita yang ia cintai tapi tidak direstui oleh keluarga ayahnya. Mereka tetap berhubungan walau ayah sudah menikah dengan ibu Tori. Mereka bahkan lahir disaat yang hampir sama. Saat Cindy lahir, ayahnya menunggui ibunya. Saat Tori lahir, ayahnya baru datang pada hari ibunya akan keluar dari RS. Ayah lebih mengasihi Cindy lebih dari Tori. Tori hanya hasil dari kesepakatan bisnis.

Betapa lucunya nasib berulang padanya. Parahnya ini adalah pria yang pernah menjadi duami Cindy, pernah mencintsinya, atau ... masih?

"Gue nggak tahu lo tinggal didekat sini." tegur suara datar yang sudah akrab ditelinganya.

Tori menengadah dan terbelalak menatap Aro ada dihadapannya dengan celana selutut, tshirt dan sendal santai. Ia menjinjing sebuah kantong plastik, mungkin baru dari mini market ujung sana.

"Lo ... tinggal di..." Tori mengerjapkan mata dan penasaran mencoba menebak.

"Kompleks sebelah..." Aro menatap Tori dengan tangan bergerak ke arah sebrang.

Komplek rumah mewah. Tentu saja. Tori merasa bodoh bertanya.

"Data alamat rumah lo nggak ada di data. Gue nggak tahu ... lo habis joging sore-sore?." Aro memperhatikan Tori yang masih mengatur nafasnya. "Mau minum? Gue beli minuman kaleng tadi."

Tori menggeleng dan menunjukkan botol minuman yang ia bawa. Tori meminumnya perlahan dan mengernyit. Aro bergerak santai untuk duduk disisi Tori.

"Sejak dari Bromo, lo menghindari gue. Lo mau bilang nggak mau menikah dengan gue?" selidik Aro santai. Ia menoleh kemudian dan menatap Tori dengan seksama. 3 hari, Tori tidak mau bertatapan, menolak bicara secara pribadi dan sebisa mungkin tidak berduaan saja. Jelas Tori sedang menghindar.

Tori menyemburkan tawa sinis. "Memangnya dengan cara itu pernikahan bisa batal?!. Jangan Geer. Gu cuma .... terlalu syok. Hubungan gue dengan Cindy nggak bagus. Kenyataan gue mesti menikah dengan mantan suaminya bikin gue nggak nyaman sama sekali. Gue butuh waktu supaya hati gue kuat."

Aro paham, baginya hal itu juga menggelisahkan dan tidak nyaman.

"Apa, lo mencintainya?" Tori menoleh pada Aro dengan sungguh-sungguh.

"Cindy?, ya... tadinya...sebelum dia meninggalkan gue."

"Kenapa, dia ninggalin lu? Sebagai pria lo sempurna. Lo kaya, ganteng dan berpengaruh. Apa yang kurang? setahu gue, lo itu tipe dia banget."

Aro menatap langit senja yang mulai gelap. Memikirkan pertanyaan Tori, lalu menatap Tori lagi. "dia...nggak tahan hidup dengan gue. Baginya gue terlalu overprotektif, terlalu dingin dan kaku. Sementara dia ekspresif dan atraktif. Jadi, dia meninggalkan gue."

"Bukankah ....perbedaan itu bagus? kalian harusnya saling dukung."

Aro mendengus, "Cindy itu egois dan manipulatif. Saat gue mencintai seseorang, gue jadi sangat over protektif dan pencemburu. Baginya, sikap gue itu mengekangnya. Dia...ingin jadi model yang sangat terkenal."

Tori merasa cemburu dengan bagaimana sikap Aro jika mencintai seseorang. Protektif dan pencemburu. Ia ... ingin diperlakukan seperi itu oleh Aro. Bodohnya .... gara-gara itu moodnya jadi jelek lagi.

"Gue ... nggak ingin mencintai seperti itu lagi .... " Aro tiba-tiba berkata dengan tegas. Menatap Tori sungguh-sungguh dan dalam. "Lo .... membuat gue nyaman dan kesal pada saat yang sama. Bersama lo, gue bisa jadi diri gue sendiri. Maka dari itu, ayo kita menikah. Setidaknya, gue merasa, lo nggak akan meninggalkan gue demi pria lain. Gue pun akan setia hanya sama lo seorang. Itu, janji gue. Bagaimana?"

Tori diam dan terpaku dengan apa yang Aro katakan juga rasakan. Pria ini nyaman bersamanya. Betulkah? Yah, semua yang ia kenal rata-rata merasa demikian. Bahkan Aro juga. Tori memejamkan mata.

"Aku minta tolong Aro...." Tori menelan ludah dan rasanya mau menangis. "Saat kamu menemukan wanita yang kamu cintai....ceraikan aku. Setuju?."

Aro menatap Tori tajam dan menyeluruh, menyadari cara bicara Tori sudah berubah ke aku-kamu dan hati-hati. Ia mengangguk tegas. "Aku janji."

Tori pun tersenyum, "kalau begitu, ayo kita menikah."

HOLD METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang