Normal POV
Tak ada jawaban dari Ares, ternyata Ares memang masih menyimpan rasa untuk wanita itu. Betapa bodohnya aku berfikir jika ucapan Ares di Andlesia itu sungguhan. Dia mempermainkan aku
Aku mengucapkan terima kasih dan good bye padanya lalu meninggalkan ruangan itu. Begitu aku keluar dan menutup pintu di belakangku, aku disambut dengan tatapan seluruh pelayan, penjaga di manor ini dan juga kak Marlyn
"Kamu mau kemana dengan koper ini?" Tanya kak Marlyn padaku
"Dunno, belum terpikir..." Ucapku
"Kamu serius mau pergi dari sini Kanaya?" Kak Marlyn kembali bertanya
"Iya, serius" ucapku berusaha tersenyum
"Dengan kaki terkilir, tangan terluka dan dahi seperti itu?" Kak Marlyn seperti melarangku keluar dari manor
"Iya kak, serius keluar dari sini dengan keadaan seperti ini. Bukankah kakak yang dulu minta Ares untuk menghentikan permainan ini? Aku mengabulkan permintaan kakak" habis lah kesabaranku. Aku menarik koperku dan meninggalkan mereka meski dengan berjalan pincang
"Permisi, dan terima kasih untuk bantuan kalian semua. Senang pernah menjadi bagian manor ini..." Aku mengucapkannya dengan tulus sebelum benar-benar keluar dari manor ini
Aku tersenyum untuk terakhir kali pada mereka dan melangkahkan kakiku keluar dari Xav manor. Angin dingin langsung menerpa diriku yang berjalan di halaman manor ini. Sesekali aku menarik dalam-dalam nafasku, meski baru tiga bulan disini aku sudah merasa akrab dengan semua yang ada disini. Tapi tidak dengan Ares
"Xavierro Malvares Dimitry..." Bisikku memanggil nama itu "selamat tinggal..." Aku menutup pintu pagar Xav Manor
.....
Karna tak ada pilihan maka aku pergi ke sebuah desa terpencil di ujung selatan Kanzpia, desa Zevall. Letaknya di dekat hutan dan gunung suasana yang jauh dari teknologi. Beruntung aku pernah tinggal disini saat dulu orang tuaku mengasingkanku
Dulu sekali ketika aku berumur 12 tahun, ayahku mengirimku ke Zevall karna tak tahan dengan kenakalanku. Aku besar di Zevall dengan bekerja sebagai pekerja serabutan. Tapi dari hasil bekerja itu aku bisa mengumpulkan keberanianku. Aku tak takut pada kematian ketika aku ditusuk dengan pisau atau pun ketika pergelangan tanganku terluka, karna nyatanya di Zevall aku pernah mengalami hal yang lebih buruk
Tapi karna mengenal seorang Xavierro Malvares aku jadi memunculkan kembali rasa takutku. Rasa takut kehilangan, musuh terbesarku dari dulu sejak aku merasakan rasanya dibuang oleh keluargaku
Sebuah rumah yang cukup luas bisa aku beli dengan hasil tabunganku bekerja di perusahaan dulu. Rumah di ujung pelosok desa, yang jauh dari keramaian desa dan jalan utama
"Lumayan juga rumah ini..." Oh iya, aku lupa bilang, perjalanan dari kota ke Zevall memakan waktu 8 jam. Sekitar pukul 9 aku mendatangi rumah kepala desa dan menanyakan rumah kosong dan mereka menunjukan rumah ini padaku
"Mulai hidup baru dan selamat tinggal kenangan lama" ucapku saat aku selesai merapikan rumah ini
'Selamat tinggal kenangan lama' ya, menurutku saat-saat bersama Ares adalah kenangan yang seperti mimpi, harus dilupakan karna takkan menjadi kenyataan. Dering ponsel membuatku bergegas menuju tempat ponselku diletakan
"Halo... Sir Freddy" sir Freddy adalah orang yang aku minta untuk mengurus perceraianku dengan Ares. Ya, amplop yang aku tinggalkan disana adalah surat cerai kami yang sudah aku tanda tangani
"Apa? Dia gak tanda tangan suratnya? terus gimana sir?"
"......"
"Saya gak mau tau, pokoknya sir harus buat dia tanda tangan... gak ada alasan saya menceraikan dia..." Sir Freddy menutup telponnya dan berusaha membujuk Ares untuk menanda tangani surat cerai kami
KAMU SEDANG MEMBACA
[KDS #1] We're Married aren't We?
Romance-Gue gak mau married orang karir udah lumayan belum lagi keluarga gue juga udah mapan. masa, gue harus married....- Kanaya Angela Malven -Nikah atau gak? Like hell i want to married... umur gue masih muda, cewek cuma masalah... nikah? ogah! - Xavier...