Apa pernah kalian menjadi nomor dua?
No, kita tidak membicarakan nomor dua pada lomba lari atau peringkat di kelas.
Tetapi nomor dua di hati seseorang.
Nomor dua di kehidupan seseorang yang selalu menjadi nomor 1 di hatimu.
Pernahkah?
Aku pernah.
Da...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Don't cry, I'm gonna cry too."
●CHAPTER FORTY ONE●
Pintu besar di hadapan Jace terbuka dan iringan piano Nocturne Op. 9 No. 2 milik Chopin menggema di seluruh ruangan misa, Jace melangkahkan kakinya ke dalam ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang terdekatnya dengan tangan yang menggamit lengan Papi dengan erat.
Para undangan pemberkatan Jace berdiri menghadap Jace dan Papi dengan senyuman lebar terukir di wajah mereka.
Puluhan pasang mata menatap mata coklat Jace melewati lapisan veil yang digunakannya, mata yang memancarkan keharuan, kebahagian, dan bahkan sekelibat keusilan.
Jace tersenyum melihat beberapa undangan wanita yang menyeka ujung matanya dengan tissue, namun merasakan air matanya sendiri mengancam keluar.
Tidak, ia tidak boleh menangis sekarang.
Rah akan menimpuknya dengan buket bunga jika ia merusak dandanannya ketika baru saja masuk satu langkah ke dalam ruangan misa.
Jace melihat ke sekelilingnya dengan pandangan kagum dan terharu, ruangan misa Gereja yang biasanya terlihat polos kini penuh dengan bunga, flower stand yang ditempatkan di setiap sudut ruangan, karangan bunga di setiap ujung bangku, dan kelopak bunga tersebar di sepanjang jalan mengarah ke altar.
Altar.
Pandangan Jace segera jatuh ke arah altar, tempat di mana Sam berdiri menunggunya dengan senyuman lebar.
Jace baru saja akan tersenyum balik pada Sam ketika laki-laki itu tiba-tiba tertawa kecil dan menutup wajahnya dengan salah satu tangannya, dan sebelum Jace bisa mengerutkan dahinya, Sam menarik tangannya dari wajahnya dan mengusap air mata yang keluar dari matanya dengan cepat.
Oh, Jace merasa ia akan pingsan sekarang juga karena terharu.
Ia baru saja membuat laki-laki termaskulin yang ia kenal menangis karenanya, dua kali.
Jace mengerjapkan matanya dengan cepat, mencoba menahan air mata yang kembali mengancam menyeruak dari matanya.
Tapi ekspresi Sam selanjutnya membuatnya meloloskan satu air mata dan tertawa kecil karenanya.
Sam masih menatapnya dengan kagum dengan air mata dan kedua ibu jarinya yang diangkat kepada Jace.
Stef yang melihat kejadian ini tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya, ia menepuk pundak Sam dan mengangguk kecil. Sam balas mengangguk pada Stef dan mengembalikan perhatiannya kembali pada Jace yang semakin mendekati altar.
Oksigen di paru-paru Jace seakan menipis, dan ia berjuang keras agar tidak segera berlari ke altar dan memeluk Sam seerat mungkin. Hal yang ia ulangi berulang kali dalam pikirannya sambil tersenyum adalah, 'jangan berlari' dan 'jangan sampai jatuh'.