Apa pernah kalian menjadi nomor dua?
No, kita tidak membicarakan nomor dua pada lomba lari atau peringkat di kelas.
Tetapi nomor dua di hati seseorang.
Nomor dua di kehidupan seseorang yang selalu menjadi nomor 1 di hatimu.
Pernahkah?
Aku pernah.
Da...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Oh wow, what the..."
●CHAPTER TWENTY SEVEN●
"Hai, Jace...."
Jace menatap tidak percaya ke arah laki-laki berbadan tinggi yang berada di hadapannya ini. Senyuman di wajah laki-laki itu nampak tidak nyata baginya. Senyuman yang tampak polos dan tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Jace harus mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa laki-laki yang ada di hadapannya ini nyata, bahwa ini bukan hanya khayalan Jace semata. Bukan karena Jace masih membawa mimpinya dari tidurnya sebelumnya.
Apa yang laki-laki ini pikir sedang ia lakukan? Apa yang membawanya ke sini?
"Ngapain lo di sini.... Bimo?"
Laki-laki yang disebut namanya itu tersenyum semakin lebar sambil mengambil satu langkah maju ke arah Jace, mengakibatkan Jace ikut mundur selangkah karena terkejut. Bersamaan dengan langkah laki-laki itu, Jace menyadari tas travel dengan ukuran cukup besar yang ada di tangan kiri laki-laki itu.
Perasaan Jace mendadak tidak enak ketika laki-laki itu membuka mulutnya untuk bicara.
"Gue ada urusan di Jakarta tiga hari ke depan. Gue butuh tempat nginep, dan si Rah nyuruh gue ke tempat lo."
Jace melebarkan matanya mendengar jawaban yang keluar dari mulut Bimo. Ia mencoba mencerna setiap kata yang laki-laki itu baru saja ucapkan.
Apa laki-laki itu baru saja bilang ia akan tinggal di sini? Di sini? Di sini bersama Jace???
Dan Rah yang menyarankannya? Jace akan menggantung anak itu nanti.
Bimo yang menyadari perubahan ekspresi Jace, segera mengangkat tangannya ke arah Jace untuk menghentikan pikiran Jace.
"Woah! Hold your thought, young lady! Maksud gue, bukan nginep di rumah lo. Tapi di hotel, Rah nyuruh gue ke sini buat minta bantuan lo cari hotel."
Bahu Jace melemas karena lega mendengar penjelasan Bimo, ia membuang napas yang tanpa sadar ia tahan sedari tadi.
Damn Bimo and his unclear explanation. Batin Jace.
Jace melirik ke arah laki-laki yang sedang menahan tawa karena melihat perubahan ekspresi Jace sejak tadi. Bimo belum banyak berubah semenjak Jace dikenalkan padanya tiga tahun yang lalu.
Kecuali badannya yang semakin tinggi, pundaknya yang semakin lebar, dan suaranya yang semakin berat. Laki-laki ini masih Bimo yang sama seperti dulu, dengan kulit putihnya, hidung mancungnya, serta tidak luput dari pengamatan Jace, mata dan senyum yang masih ramah.
Ia semakin terlihat dewasa. Dengan umurnya sekarang yang hampir dua puluh delapan tahun, tentu saja ia terlihat semakin dewasa. Namun ia masih Bimo yang sama, Bimo yang masih suka menggunakan jaket kulit hitam dan celana ripped jeans-nya. Bimo yang tertawa seperti anak lima tahun yang baru saja melakukan keusilan.