Fragmen 1

4.1K 24 14
                                    

                        The Dream Painter

Ubud, 2012...

Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.

Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.

“Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai?” Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.

Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.

“Oh, ini ada pengabenan(1),” Kadek menyahut tanpa menoleh.

(1) Upacara pembakaran jenazah atau kremasi umat Hindu di Bali. Upacara Ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan guna mengirim arwah menuju kehidupan mendatang.

Kadek menganggukkan kepala kepada orang-orang itu, sekedar sopan santun saat melewati rombongan mereka. Aroma dupa dan alunan tetabuhan yang terdengar asing membuat bulu kuduk Ava merinding. Ava melirik ke arah patung lembu hitam yang diusung dan orang-orang berjalan dengan wajah murung.

Sebuah upacara pemakaman.

Ava menghela nafas. Mendadak dadanya dipenuhi dengan rasa takut yang purba. Pemuda itu tercenung lama, sampai akhirnya skuter mereka menjauhi rombongan itu.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di sebuah villa yang indah. Villa itu terletak di pinggir jurang yang menjorok ke sungai. Skuter mereka melewati candi bentar berukir dan memasuki halaman yang dipenuhi oleh tanaman tropis yang eksotis.

Kadek memarkir motor. Di halaman ada seorang laki-laki paruh baya berbadan subur sedang mengelus-elus ayam jago.

“Ajik (bapak), siapa yang di-aben?” tanya Kadek kepada orang itu.

“Oh, Dadong Dauh, dari banjar sebelah.”

Kadek manggut-manggut, sambil meletakkan helmnya di bale-bale.

Pak De namanya. Pada awalnya Ava juga bingung, kenapa orang Bali sepertinya dipanggil Pak De, mungkin nama aslinya Pak Made, Pak Dewa, atau Pak Gede. Tapi cukup Pak De saja, itulah nama seniman yang digunakannya. Nama yang terkenal sampai ke luar negeri sebagai pelukis aliran realisme yang berpengaruh.

Ava ditawari Kadek untuk ‘berguru’ pada seniman yang kebetulan satu kampung dengannya. Sebagai gantinya, selama beberapa tahun Ava akan ‘ngayah( mengabdi) di tempat itu; mengabdi tanpa pamrih kepada keluarga Pak De, dan selama itu pula Sang Maestro akan menurunkan ilmu yang dimiliki kepada Sang Murid. Jika beruntung karya-karya Ava akan ikut diorbitkan ke galer-galeri terkenal di Jakarta, bahkan ke tingkat Internasional, seperti murid-murid beliau terdahulu.

“Saya Ava.” Ava menjulurkan tangannya ke arah orang itu, nampak canggung di depan tokoh yang diseganinya.

“Hahaha.. berbeda jauh seperti bayangan saya, saya Gede, ah panggil saja Pak De, Hahaha... Ah, maaf tangan saya kotor.”

“Memang seperti apa bayangan bapak?”

“Ava Devine? Ava Lauren?”

“Hahahaha” Ava tertawa, tahu siapa yang dimaksud –pemain film panas-, “Bukan, Saya Mustava Ibrahim…”

“Ah, bapakmu pasti penggemar Queen.”

“Benar.”

Suasana langsung cair, ternyata Pak De sangat humoris meskipun ia memiliki brewok lebat dan rambut panjang yang diikat ke belakang, yang sekilas mengingatkan Ava pada perawakan seniman Djaduk Ferianto.

“Nanti saja ngobrol-ngobrolnya, saya juga belum mandi. Kamu istirahat saja dulu," kata Pak De. "Dek, kamu antar Ava ke kamarnya.”

Ava diantar Kadek melewati jalan setapak yang dirimbuni pepohonan tropis, Villa itu sangat asri. Ava melewati bangunan yang dicat tanah dengan atap jerami, dipisahkan oleh kolam renang kecil dari bangunan utama. Di dalamnya penuh dengan lukisan, ada pula yang belum jadi. Sepertinya itu studio Pak De, batin Ava.

Yang di sebut ‘kamarnya’ ini lebih mirip gazebo, namun difurnish halus. Bangunan ini berupa bale-bale di bawah, dengan tangga naik ke balik atapnya yang melambung tinggi seperti lambung tadi padi. Di dalam atap inilah ava akan tidur.

Dengan susah payah Ava menaikkan tas baju dan peralatan lukisnya menaiki tangga, sampai akhirnya ia menghempaskan punggungnya ke atas kasur busa empuk yang diletakkan begitu saja di ruang 2x3 meter itu. Ava jadi teringat tempat kostnya di Jogja. Namun ini jauh lebih baik.

Ava bisa melihat sungai di bawah, dan persawahan yang bertingkat-tingkat di kejauhan.
Pemandangan dan udara Pulau Dewata itu begitu membius. Tahu-tahu Ava sudah terlelap dalam mimpi indah. Tidurnya dipenuhi dengan mimpi-mimpi muluk seorang sarjana fresh graudate. Ava masih belum mengetahui apa yang akan menantinya di perantauan ini.

Tidak sama sekali.

Jangan lupa Like dan Comment.
Terima kasih.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang