Fragmen 21

1.1K 10 0
                                    

The Rain's Rhapsody

Matahari sudah agak tinggi ketika Ava melangkah menuruni tangga kayu gazebo kamarnya. Kadek yang menungu di bawah langsung terpingkal-pingkal begitu melihat penampilan baru sang adik kelas. Wajah Ava kini klimis. Segala jambang, kumis, ataupun janggut tebal yang tadinya menutupi, kini sudah hilang tak berbekas. Hanya tinggal seraut wajah khas Arab dengan hidung mancung dan tulang rahang tegas yang kini dibingkai rambut ikal sedagu.

"Jangan ketawa kamu, Dek!" Ava melotot ke arah Kadek yang tak juga berhenti tertawa.

"Nah, gini baru mantap!" Kadek berseru sambil mengacungkan ibu jari.

"Kalau gini kan jadi mrip Fachri Albar KW2! Hahaha!"

Ava mendengus sebal, segera menyambar helm di bale-bale.

"Udah ah, katanya kita ada misi penting?!"

"Oia! Hahahahaha!"

Tawa Kadek baru terhenti setelah Ava memitingnya.

 ####

Misi Penting. Pak De menugasi mereka berdua untuk mencari seorang model lagi untuk lukisan berikutnya. Agensi model Pak Nico, kolega Pak De di Seminyak sudah pasti akan menjadi tujuan utama, namun Kadek berinisiatif menghubungi cewek bertato yang ditemuinya di Pub Crossing Fate tempo hari. Wuih, pokoknya cantik, Pak De! Liar! Seksi! Promosi Kadek berapi-api. Sang Maestro lalu berkata bahwa, tidak ada salahnya mencoba. Model amatir seperti Ava kemarin malah bisa memberikan ekspresi natural bagi lukisan erotisnya.

Sudah barang tentu Indira yang paling antusias dengan ide Kadek. Ia malah memberikan kartu nama tempat Sheena membuka studio tato di Jalan Poppies II, bahkan kalau perlu Indira sendiri yang ikut ke sana untuk membujuk sang cewek tomboy.

Skuter butut Kadek segera meluncur ke jurusan barat daya menuju pantai Kuta. Hari beranjak siang ketika mereka sampai di sana. Kadek meliukkan skuternya dengan lincah menembusi jalanan yang ramai akan kendaraan. Spion mobil disikat, trotoar dikangkangin, tak takut mati apalagi takut polisi, begitulah motto sang pemuda yang konon terinspirasi dari sebuah lagu indie. Tak lama kemudian, suara skuter Kadek sudah terdengar terkentut-kentut ribut di tengah kemacetan Kuta di siang hari. Beberapa wisatawan asing nampak terganggu dengan suara knalpotnya yang lebih nyaring dari terompet tahun baru.

"Yang kamu maksud ini, cewek yang tempo hari itu kan, Dek?! Yang waktu kita rusuh-rusuh di bar itu?!" Ava harus sedikit berteriak agar suaranya tak tertelan bising.

"Yoi!"

"Tapi perasaanku nggak enak, Dek!"

"Kenapa?!"

"Nggak tahu aja, pokoknya perasaanku nggak enak!"

"Kenapa sih, kamu?"

Ava mengangkat bahu. Ia tidak bisa menjelaskan dengan dengan seksama. Persis seperti perasaan aneh yang menyergapnya ketika pertama kali sampai di Pulau Dewata, perasaan merinding yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semua dirasanya serba ambigu dan abu-abu, bagai lingkar labirin yang ia bahkan tak tahu dari mana harus mengurainya.

"Kasih gula aja, biar enak!" sahut Kadek asal, lalu mengarahkan skuternya memasuki Jl. Poppies II tanpa mengurangi kecepatan.

Ada sebuah studio tato di antara leretan kios yang menyesaki jalan sempit itu. Eksteriornya dicat warna hitam-pink dengan mural bergaya gothic-loli. Papan nama besar dari neon banner terpajang di atasnya, bertuliskan "Angel With Dragoon Tattoo" yang dilukis bak poster film bioskop tahun 50-an.

Beberapa desain tato dipajang rapi di pigura di balik etalase. Dan Ava tidak bisa untuk tidak takjub ketika memandanginya. Sebagai mahasiswa seni rupa, dirinya sudah sering melihat ratusan lukisan atau desain. Namun kali ini ia menyaksikan lukisan yang seolah memiliki ruh, bagaikan lukisan Pak De, Sang Maestro.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang