Fragmen 24

1.3K 14 0
                                    

Blatant


"Nyebelin. Banget." Indira menggembungkan pipi seperti ikan fugu.

"Kenapa sih, harus pakai ngomong kaya gitu?"

"Lagian kamunya mendadak naif gitu. Geli tahu dengernya," balas Dewa dingin.

"Kita ini hidup di dunia nyata, nggak dalam dongeng murahan, di mana kisah pangeran dan putrinya selalu berakhir happilly ever after."

""Terus aku nggak boleh punya mimpi, gitu?"

"What comes after the dream ends?" Dewa bertanya retoris.

"Reality."

"Kamu kena sih, Wa?! Akhir-akhir ini kamu udah nggak kaya dulu lagi. Tambah sinis, tambah nyebelin, tambah angkuh, tambah pemarah, tambah mesum!"

Dewa tertawa sinis. "Yang terakhir kayanya jadi mutual benefit deh, ya..."

Sepanjang perjalanan itu Indira menekuk wajahnya, dan Dewa hanya menanggapi dingin sambil terus menyetir.

Mobil yang mereka tumpangi melambat ketika memasuki kota Denpasar, jalanan mulai dipenuhi oleh kendaran. Sekolah Indira adalah salah satu sekolah swasta terkenal yang terletak di bilangan Jl. Sudirman, berdekatan dengan Fakultas Kedokteran tempat Dewa kuliah.

"Nanti aku dijemput, kan?!"

"Nggak janji, ya. Habis ini aku ada praktikum anatomi, terus siangnya mau lepas jahitan sama Vi."

Kening Indira langsung berkerut.

"Kenapa harus sama Vi? Kenapa harus sama mantanmu? Udah nggak ada ko-ass lain?"

Dewa terkekeh. "Kenapa? Cemburu?"

"Cemburu? Siapa bilang aku cemburu? Aku nggak cemburu!" Indira menukas, membalas dengan nada yang mulai meninggi.

"Terus?"

"Kamu sengaja, kan? Biar bisa deket lagi sama Vi? Jujur aja."

"So?"

"Dasar player!"

Dewa memilih tak menanggapi, meski urat-urat sudah nampak mengeras di wajahnya yang merah padam.

"Jawab, dong! Jangan cuma bisa diem aja jadi cowok!" cecar Indira.

Senyum sinis membersit di bibir Dewa.

"Terus apa bedanya sama kamu?"

"Maksudmu?"

"Maksudku, mas-mas brewok sok jagoan itu. Kalian tinggal serumah, kan? Aku nggak heran kenapa dia belain kamu sampai segitunya."

"A-a-apaan sih? K-kenapa sih kamu sekarang sering banget ngajakin ribut! Bilang aja kalau pengen nyari-nyari alasan buat putus!" Indira mengalihkan pandangannya dari mata Dewa, seolah kekasihnya itu bisa melihat kejadian di air terjun, atau saat ia dilukis dengan Ava dari balik pupilnya yang bergerak gelisah.

Dewa tersenyum sinis menyadari perubahan riak di air muka Indira.

"Ow... ow... ternyata... ck ck ck..."

"PLAK!" tamparan keras mendarat di pipi Dewa.

"Kamu! kasar..." Indira menyusut seutas airmata yang melintas.

Suaranya perlahan bergetar, "aku aja yang terlalu banyak berharap. kamu memang sudah berubah!"

"Jadi cuma gara-gara itu, kamu sama dia!"

"Wajar, kan? setidaknya Ava bisa buat aku bahagia, dia bisa buat aku kembali bermimpi!"

"Double standard," Dewa berkata, pendek.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang