Fragmen 16

1.3K 9 0
                                    

                             Liberi Fatali

Sang Surya menyembunyikan diri di balik selimut gelap, memunculkan Sang Chandra yang bersinar temaram. Cahayanya tertutup beberapa awan yang berarak seperti iring-iringan peziarah menuju pekuburan. Cahaya lampu villa yang berleret-leret di kejauhan tak mampu menerangi areal persawahan di depan kediaman Pak De sehingga, tak menyisakan sedikitpun keindahan yang memukau saat pagi ataupun senja.

Sesi nude painting dilanjutkan setelah Pak De pulang dari rapat bersama para koleganya di Museum La Mayeur. Pak De berkata bahwa, nantinya akan ada 5 lukisan baru yang akan menjadi highlight dalam pameran Sang Maestro di Perancis, lukisan erotis Ava bersama Indira ini akan menjadi pembuka. Untuk karya berikutnya, Sang Maestro memerlukan model lain yang tak kalah liar dari si pemuda brewok.

“Saya saja, Jik!” Kata Kadek menawarkan diri dengan penuh pede. Pemuda itu nampaknya ikut meneteskan air liur menyaksikan pose mesra Ava dengan Indira dalam keaadaan tanpa busana.

“Hahahaha! Sayang sekali, Dek, kamu terlalu kurus! Lagipula saya mencari model perempuan! Yang liar! Tapi juga seksi! Tapi maskulin! Pokoknya yang.... RAWWWWR!” kata Pak De sambil terus melukis. “Tolong saya dicariken ya, Dek. Coba kamu hubungi Pak Nico di Seminyak, agensi modelnya biasanya punya model bagus-bagus.”

Kadek mengangguk, meski dalam hati pemuda itu mulai gelisah. Liar? Seksi? Di mana harus mencari model seperti itu? Sang murid segera memutar otak. Banyak memang model cantik dan seksi yang sering menjadi model lukisan Sang Maestro. Tapi model yang seksi namun liar dan maskulin? Kadek bahkan tak tahu dari mana ia harus mulai mencari.

Benak Kadek berputar-putar, sebelum akhirnya memorinya tersangkut pada kejadian di Pub Crossing Fate seminggu yang lalu. Hanya sekilas barangkali ia bisa mengingatnya, namun wajah vokalis cewek berambut pendek dan bertato yang tak segan-segan berkelahi dengan lelaki itu segera berkelebatan di dalam benaknya.

                = = = = = = = = = = = = = =

Seorang wanita berambut pendek duduk resah di sebuah bar di tepi pantai. Tangan kirinya yang penuh tato memegang sebatang rokok kretek yang menyala, sementara pandangannya mengawang memandangi pesawat terbang yang melayang dari arah Bandara Ngurah Rai di kejauhan. Sheena tersenyum getir, membiarkan angin laut membelai rambut pendeknya.

Seorang pemuda ceking berkulit hitam dengan rambut gimbal asyik menggoyangkan kepalanya mengikuti alunan suara Bob Marley di depan Sheena. Kepalanya menggeleng-geleng asyik seolah hanya ada ada lagu itu saja di telinganya. Di bibirnya terselip sebatang rokok kretek, dadanya yang kurus dengan kalung dari tulang belulang tampak kembang-kempis menghisapi nikotin yang dirasakannya seperti nikmat surgawi, meski ia tahu ada asap yang lebih nikmat dari ini.

“No woman, no cry… No, no woman, no woman, no cry... woyo… yo… yo…” mulutnya yang ditumbuhi kumis tipis monyong-monyong tidak jelas, sembari sibuk mencampur berbagai macam minuman di bar panjang yang dilapisi kayu mahoni.

“Udahan deh, Malah nyanyi-nyanyi nggak jelas! Sakit kuping gue.”

“Hey little sister, don't shed no tears… woyo... yo… yo…” Bob terus cuek bernyanyi, sambil menggaruk-garuk kemaluannya yang gatal, hingga Sheena semakin dongkol dibuatnya.

              = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Pantai Kelan. Sebuah pantai yang tersembunyi di antara Bandar Udara Internasional Ngurah Rai dan perkampungan nelayan di dusun Kedonganan. Terletak persis di sebelah Pasar Ikan Kedonganan, pantai Kelan nyaris tak terendus hiruk pikuk pariwisata Pulau Dewata yang semakin sesak tiap tahunnya. Hanya ada beberapa kedai ikan bakar, dan sebuah bar reggae suram yang masih mendentamkan musik meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang