Fragmen 28

1.1K 11 0
                                    

Dua Langkah Kecil

Desa itu mulai semarak dan berwarna-warni. Dari depan tiap-tiap rumah kini mencuat penjor, yakni sebuah batang-batang bambu tinggi dengan yang dihias sedemikian rupa dengan untaian janur, daun plawa, hasil-hasil bumi, dan kain warna kuning-putih. Dari ujungnya menjuntai untaian janur kuning yang melengkung ke Bumi, sebagai wujud syukur terhadap Sang Pencipta.

Sudah beberapa hari ini, seluruh warga disibukkan dengan perayaan Galungan dan Kuningan yang akan tiba sebentar lagi. Yakni peringatan terhadap terciptanya alam semesta sekaligus kemenangan kebaikan melawan kejahatan. Tak terkecuali kediaman Pak De. Riuh rendah terdengar mewarnai, meski hari sudah mulai beranjak senja.

"Pak De... ini... menghadap... ke mana...?" Ava nampak kepayahan menggotong batang bambu panjang, sementara lelaki tua yang ikut menggotong di belakang juga nampak kembang kempis dadanya.

Nafas Pak De terlalu sesak hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan pemuda itu.

Susah payah, mereka berdua berusaha memasukkan batang bambu ke dalam lubang yang telah disiapkan di tanah. Butuh usaha yang cukup keras agar penjor itu bisa berdiri tegak, usaha yang disambut gelak bahagia dari Pak De dan Ava ketika penjor itu akhirnya menjulang gagah di bawah naungan Hyang Surya yang perlahan meredupkan cahayanya.

"Makasih... Ava...," kata Pak De sambil terbatuk-batuk, dan menghempaskan pantatnya ke tanah.

Ava tidak menjawab, hanya tersenyum lebar di balik wajahnya yang berpeluh.

Senyum kecil terbit dari bibir Indira memperhatikan kekompakan Ava dan ayahnya dari kejauhan. Remaja itu dan Sheena nampak sedang sibuk merajut janur menjadi wadah sesaji berbentuk kotak.

Tangannya bergerak lincah memotong janur, melipat, dan menyatukannya dengan semat- bambu yang dipotong menyerupai lidi.

"Kamu... duluan, Va... saya... masih..." Pak De mencoba berdiri, namun kembali terjatuh akibat tungkai-tungkainya tak mampu menopang berat badannya yang ditarik gravitasi.

Sigap, Ava segera memapah gurunya menuju bale-bale.

"Ajik! Ava! Minum dulu!" seru Indira. Segera dituangnya air dingin dari kendi tanah liat ke dalam gelas sambil tersenyum-senyum sendiri. Entah kenapa.

"Haha... beginilah... balung tua...," Pak De tergelak, menertawakan kerentaannya sendiri.

"Memang sulit di Bali kalau ndak punya anak laki-laki."

"Ah, jangan bilang begitu, Pak De," potong Ava cepat, begitu melihat air muka Indira yang seketika berubah setelah mendengar perkataan ayahnya.

Ava merasa tak enak hati dengan situasi ini. Lekas-lekas ia menenggak segelas air putih guna menghilangkan rasa jengah yang tiba-tiba ikut memenuhi wajahnya. Tak tahu kenapa.

"Haha... jangan panggil Pak De, panggil Ajik saja... sebentar lagi kamu kan mau jadi anak saya... hahahaha... uhuk! uhuk! uhuk!"

Ava ikut terbatuk sampai-sampai air yang sedang diminumnya menyembur keluar dari lubang hidung.

"Atau kalau Ava ndak mau, biar Sheena saja yang jadi menantu-nya saya.... ah... tapi dia perempuan ya.... hahahahaha!"

Giliran Sheena yang ikut terbatuk-batuk.

"Ajik! Yang bener dong kalau ngomong!" Indira langsung mendelik, melayangkan protes keras, namun ayahnya malah tergelak-gelak.

Indira mendengus kesal, karena yang diajak bicara pun sepertinya tidak serius dengan ucapannya.

"Yuk, Kak Na... pergi aja... daripada ngurusin orang lengeh!(Mabuk/Teler)" Indira menggandeng tangan Sheena. Melengos sebal, meninggalkan ayahnya yang masih terbatuk-batuk.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang