Fragmen 42

1.9K 10 0
                                    

Have You Ever Seen The Rain?​

Pagi masih dingin dan kabut pagi melayang tipis menyelubungi tajuk-tajuk pohon kopi yang berbunga putih ketika langkah-langkah kecil terdengar berderap di jalan setapak di bawah rimbunan perdu dan dedaunan.

Sudah 4 kali putaran Ava berlari mengelilingi areal perkebunan milik keluarga Indira. Udara pagi dan panorama pegunungan mau tak mau menggodanya untuk memulai pagi dengan berolahraga.

Langkah Ava sedikit melambat ketika earphone yang menyumbat telinganya sampai pada lagu 'Don't Stop Me Now'.

Sang pemuda tertegun lama, mendadak ia merasa di belakangnya menyusul sepasang langkah Sheena dan suara yang tak henti tergelak mendengar leluconnya.

Ava menoleh, namun ia hanya mendapati jalan setapak yang ditumbuhi rerimbunan pohon kopi. Ava mencoba tersenyum, tanpa bisa memungkiri bahwa ada kerinduan yang mendadak terbit di pagi itu.

###

Langit berwarna kelabu. Penghujung tahun 2012 membuat hujan masih turun sesekali. Mendung gelap mengendapkan kabut dan udara dingin yang merayap turun dari puncak gunung di kejauhan.

Ava menyeka peluh di dahi. Temperatur udara sepertinya tak mampu mencegah kelejar keringatnya berproduksi.

Berkali-kali pemuda itu mengibas-ngibas kausnya yang terasa gerah dan lengket, hingga tanpa sadar langkahnya terhenti pada bangunan batu bata merah yang tersembunyi di tengah kebun kopi.

Ava melepas headset dari telinga, dan indera pendengarannya segera diserbu dengan suara gemericik air dari kejauhan.

Penasaran. Ava melangkah hati-hati melewati parit yang dialiri air jernih, memasuki gerbang batu yang dipenuhi lumut dan tertutup semak-semak.

Pemuda itu sungguh tak menyangka, bahwa akan disambut dengan pemandangan menakjubkan: bilik-bilik dengan pancuran berukir yang tak henti mengalir, ditampung dari mata air di dekat situ.

Dinding batu bata yang sudah lapuk memagari sekelilingnya, memisahkan tempat mandi laki-laki dan perempuan. Sementara atapnya dibiarkan terbuka dan dipayungi daun kopi dan rimbun pohon pinus.

Ava mencoba meraupkan air bening itu ke wajahnya, dan seketika itu juga saraf-saraf sensorinya segera dirambati sensasi segar yang membuatnya ingin segera menceburkan diri ke dalam pancuran.

Ava melongok ke sekeliling. Sepi. Mendung yang menggantung sepertinya membuat penduduk desa kebanyakan memilih berdiam diri di dalam rumah ketimbang berladang.

Tanpa pikir panjang, segera Ava melucuti pakaiannya, melipatnya rapi di dalam ceruk batu agar tak terkena hujan. Semenjak tinggal di Ubud, pemuda itu nampaknya mulai menikmati mandi di tempat yang eksotis seperti ini.

Ava segera membasuh tubuh telanjangnya sambil menandak-nandak dan bernyanyi tidak jelas, hanya demi menahan serbuan dingin ribuan galon air yang diguyurkan di atas kepalanya.

Ava memejamkan mata, untuk sesaat ia seperti tidak berada di bumi.

"Hey!" suara merdu menjerit dari arah gerbang batu.

Sesosok bidadari berdiri di atas batu didekatnya. Bidadari itu memainkan ujung rambutnya yang hitam kecoklatan, dengan bibir mungil yang pura-pura cemberut

"Ava? ngapain kamu di sini?"

"Jualan syomai! Eh, ya mandi, lah!" Ava menjawab asal.

Indira terkikik.

"Ini kan tempat mandiku!"

"Ye, nggak ada tulisannya, kok!" belot Ava. Juga, dengan senyum dikulum.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang