Fragmen 30

1K 10 0
                                    

The Maestro's Apprentice

Motor matic lalu lalang di jalan Tukad Campuhan, Ubud. Pagi masih dingin, namun bangunan yang dipenuhi ukiran khas Bali itu sudah membuka pintu. Di atasnya terbentang papan nama De's Gallery ' Fine Art Painting, berdiri gagah di deretan artshop yang berleret-leret memagar sawah.

Kadek duduk di depan meja di ruang kecil di belakang galeri, sibuk dengan berbagai telepon dan pesanan yang dikerjakannya sedari tadi.

"Om Swastyastu! Patra Bali? Buat reservasi minggu depan! atas nama Pak Dewa Gede Subrata! nggih! 300 orang!." Kadek terdiam sebentar.

"nggih! bisa di atur! matursuksma!" Kadek meletakkan gagang telepon. Matanya melirik bundaran kecil di kalender, menghela nafas, dan kembali mencoreti buku tulis.

Seminggu lagi Pak De berangkat ke Paris, dua hari lagi ini beliau akan mengadakan semacam perjamuan untuk kolega dan sesama seniman, dan Kadek kebagian jadi seksi sibuknya.

Kadek memutar-mutar tombol sekali lagi.

"Om Swastyastu! DHL, benar? Mau tanya, pengiriman paket ke Paris, untuk hari ini terakhir berangkat jam berapa?" Kadek melirik jam tua di dinding.

"Jam 12? Nggih! matursuksma, bli."

Telepon berdering begitu Kadek meletakkan gagang telepon.

"Halo, Om Swastyastu, De Galeri."

"Kadek? Ava nie! aduh, kok susah sekali di telepon?" terdengar suara di seberang telepon.

"Apa, Va?"

"Silinder plastiknya nggak ada yang ukuran segitu."

"Cari yang ukurannya mirip-mirip. Lebih besar dikit nggak apa-apa."

"Oke."

Telepon ditutup. Kadek menghela nafas.

###

"Apa kata Kadek?" tanya Sheena yang berdiri di sebelahnya.

Memandangi tumpukan silinder plastik yang biasa digunakan oleh anak-anak arsitek untuk menyimpan desain, bersusun-susun di sebuah toko alat tulis di sudut kota Denpasar.

"Yang mana aja. Lebih besar nggak apa." sahut Ava.

"Tuh kan, gue bilang juga apa."

"Iye... nyak... bawel, ah."

Sheena antara cemberut dan tertawa mendengarnya.

"Yang kayak gini 13, Pak." kata Ava, sambil menepuk silinder plastik yang ditumpuk.

Pagi-pagi sekali, Ava dan Sheena ditugasi Pak De membeli silinder plastik untuk mengirim lukisan ke Paris. Sebenarnya Sheena malas pergi berdua saja dengan Ava.

Namun lukisan yang dilihatnya pagi tadi benar-benar mengusik pikirannya, dan kali ini ia tidak bisa lagi diam.

"Eh, Lukisan elu."

Ava terkekeh.

"Oh, sudah lihat? Mantep, kan.. mantep, kan? hehehe..." katanya jumawa, enteng. Sambil membayar ke penjaga toko.

"Minta nota, Pak!"

"Ge-er banget," cibir Sheena.

"No skill gitu, kok!"

"Sirik tanda tak mampu," balas Ava cuek, menyodorkan 5 silinder yang ditali ke Sheena.

"Itu lukisan apa, sih?"

"Aaaada... deh!"

"Gue serius nanya, nih!"

"Aduh, apa ya?"

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang