Fragmen 10

1.2K 13 1
                                    

                               Samsara


Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.

"Ava," Indira memecah kebisuan.

"Ya?"

Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. "Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini."

Ava tak langsung menjawab.

"Yang tadi pagi juga..." Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.

Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. "Kenapa sih, kamu?" tanya Ava.

"Nggak tahu," jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.

Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. "Pasti gara-gara namaku, kan?"

Indira tidak menjawab, meski hatinya mengatakan: iya.

"Namamu Indira kan?" retorik, Ava bertanya.

"Kenapa tanya?"

"Namaku Mustava Ibrahim."

"Terus?"

"Aku nggak pernah minta diberi nama ini."

Indira terdiam. Ikut menyandarkan kepalanya ke kaca jendela yang berembun.

"Aku nggak pernah minta dilahirkan dari keluarga mana, di belahan bumi mana, dan dengan agama apa. Orang bilang ini takdir, Samsara. Tapi aku bisa apa dengan itu semua?"

Indira masih terdiam.

"My name is Mustava, and I'm not a terrorist," Ava mengutip kata-kata Shahrukh Khan.

"Of course you're not..." Indira menjawab lirih. "Kamu itu orang paling lucu yang pernah aku temuin."

Ava tersenyum, diusapnya punggung tangan Indira. "Aku nggak keberatan kamu bilang apapun. Aku cuma nggak pengin kamu sedih."

Sayup-sayup Ava mendengar suara isak tertahan. Terbit rasa iba di hatinya melihat bidadari yang ternyata demikian rapuh ini. Hati-hati, Ava membelai rambut Indira. Belaian itu tahu-tahu saja membangkitkan kenangan akan belaian yang dulu pernah dirasakan Indira dari ibunya, dari kakaknya, atau dari ayahnya yang sudah lama tidak didapatinya lagi.

Tahu-tahu Indira sudah memeluk Ava dan menangis di dadanya. Iba bercampur bingung, Ava benar-benar serba salah dengan keadaan ini. Pemuda itu hanya bisa membelai Indira, lembut sangat lembut. Belaian yang malah membuat tangis Indira semakin menjadi-jadi.

"Ava, maafin aku... . bukan salah kamu... kalau... kalau kak Raka dan mama..." Tangis Indira pecah. Tubuhnya berguncang-guncang hebat dalam pelukan Ava.

Taksi itu melaju di jalan yang telah lenggang. Melewati Patung Bayi Raksasa di perempatan Sakah. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga bependar resah, seperti resah yang kian bergelayut di hati Indira.

___________________________________

Sementara itu, Sheena diomeli habis-habisan oleh manajer Pub karena ikut membuat kerusuhan. Namun ia tidak peduli. Ia lebih peduli dengan raut wajah brewok yang ditemuinya barusan. Sheena merasa pernah mengenalnya, entah di mana. Namun, semakin ia mengingat, semakin kepalanya terasa sakit. Ia berusaha mengingat lebih jauh lagi, namun ruangan di sekitarnya seperti memendar. Tato naga di lengan kirinya seakan bergerak-gerak, berubah menjadi ratusan tangan berdarah yang meraba-raba tubuhnya. Sheena berteriak histeris. Tubuhnya jatuh ke lantai. Sesaat kemudian ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.




Jangan lupa Like dan Comment.
Terima kasih.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang