Fragmen 12

1.2K 12 0
                                    

                               Katarsis



I'm Fucked up. Mungkin tak ada ungkapan lain yang lebih tepat untuk Sheena selain itu. Gitar mahalnya patah. Kontraknya sebagai session player di Pub dicabut, dan kini ia dipaksa terbangun dengan kepala pening.

Cewek bertato itu mengusap dahinya, bagaimana bisa wajah brewok yang ditemuinya semalam masih saja betah bertamu dalam kepala? Who the fuck is that guy, runtuk Sheena dalam hati. Namun semakin ia berusaha mengingat, semakin terasa berdenyut-denyut ubun-ubunnya. Fuck. Sheena menyulut sebatang rokok, membiarkan asap nikotin memenuhi ruangan kecil berukuran 3 x 4 itu.

Sinar matahari menyusup dari daun jendela, pertanda Hyang Surya sudah menampakkan wujudnya di langit yang mulai berwarna kebiruan, menghangatkan lorong-lorong lembab yang tersembunyi di balik Kuta yang gegap gempita. Siapa sangka, di balik deretan pub dan klub-klub mentereng tersembunyi sebuah labirin, jalan-jalan kecil yang tak tertera dalam peta. Di mana berjejal berpetak-petak rumah kost sempit bagi insan penggerak segala gempita di atasnya.

2 tahun yang lalu, seniman tato itu memulai peruntungannya di Pulau Dewata. Tinggal di kamar kost kecil dan membuka kedai tato di Jalan Poppies II dengan modal pinjaman berbunga tinggi adalah prinsipnya untuk tidak bergantung pada keluarga besarnya. Namun sayang, kenyataan tidak berjalan semudah yang ada dalam utopia.

5 buah pesan masuk dan 10 panggilan tak terjawab mengerdip redup di layar ponsel. Sheena mendengus kesal melihat nama pengirimnya. Hutang-hutangnya rupanya telah jatuh tempo.

"Pasti gue bayar" –SEND.

Senyum sinis membersit di bibir. Dikejar hutang dan masa lalu, what will i become? batin Sheena. Tapi ia menyadari, bumi tak akan sudi membalik putarannya hanya untuk kembali ke masa lalu. Dan apa yang bisa dilakukannya selain berdiri tegak menantang? Masa kini, masa depan, dan segala yang datang setelah ini.

                  = = = = = = = = = = = = =

Perputaran bumi pada porosnya menggantikan malam muram di Crossing Fate menjadi benderang pagi yang mulai mewarnai hitam langit dalam gradasi nan menawan. Hamparan persawahan di sekitar rumah Pak De masih tertutup halimun tipis. Namun beberapa petani sudah berjalan menyusuri pematang bersiap untuk mengatur pembagian air irigasi.
Pagi itu Sang Maestro sedang duduk di teras rumah menikmati pisang goreng dan segelas kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas. Indira duduk di sampingnya. Remaja itu kini sudah mengenakan seragam putih-abu yang rapi. Berdua mereka saling menghadapi, sama-sama diam dan merenungi.

Perlahan, Indira mengusap punggung tangan ayahnya hingga terbit senyum tipis di atas bibir yang diliputi brewok tebal. Lelaki tua itu balas membelai rambut puterinya dengan lembut. Indira tersenyum dalam hati, mencoba meresapi. Remaja itu menyandarkan kepalanya di pundak sang ayah, merasakan dekapan yang lama tidak ia rasakan. Di dalam dinginnya pagi, dua batang kara itu mencoba menemukan kembali kehangatan yang lama hilang. Kehangatan yang memudar sejak peristiwa 10 tahun yang lalu yang merenggut orang-orang yang mereka cintai.

"Dira berangkat dulu, Jik," ujar Indira sambil mencium tangan ayahnya.

"Oh iya, sekalian kamu antar si Ava sampai galeri, soalnya Kadek mau Ajik suruh beli cat di Denpasar."
Indira terdiam.

"Kenapa? Dira masih ada masalah sama Ava? Harusnya Dira yang minta maaf," tandas Pak De menegaskan.

"Iya, Dira tahu... Nggak apa-apa, kok." Indira cepat tersenyum.

"Ava mana?"

              = = = = = = = = = = = = = = = = =

Sementara itu, pemuda yang sedang dibicarakan malah asyik merokok di pinggir sawah. Pagi ini Ava mengenakan boots kulit, celana jeans lubang-lubang, dan kaus kumal hitam bergambar Che Guevara. Raut wajah tokoh revolusi Kuba itu sungguh mirip dengan Ava, terutama pada bagian brewok tebal yang memenuhi muka. Ava menghembuskan rokoknya ke dingin udara sambil menikmati pemandangan indah yang tidak bisa ia temukan di kampung halamannya. Lamunannya baru buyar ketika Indira tahu-tahu muncul di sampingnya sambil menyodorkan helm.

"Iih... dicariin dari tadi, yuk buruan!"

"Lho, Kadek mana?"

"Dia disuruh beli cat sama Ajik. Aku yang nganter kamu sampe galeri."

Segera sang pemuda salah tingkah. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa yang akan mengantarnya ke galeri adalah sang bidadari. Buru-buru Ava mematikan rokoknya dan berjalan menuju Mio putih yang sedang dipanaskan.

Galeri lukisan Pak De terletak terpisah dengan villa-nya, yakni di Jalan Campuhan dekat Monkey Forest, Ubud. Skuter matic yang dikendarai Ava melaju pelan di sepanjang jalan kecil, membelah dingin udara pagi yang menyelimuti mereka berdua. Indira merapatkan tubuhnya ke punggung Ava, menebarkan seberkas perasaan hangat yang mendadak menyelinap di dada pemuda itu.
Adalah 10 menit jarak antara rumah Pak De dan galeri. Sebuah jarak yang cukup panjang bagi keduanya untuk berbincang dan menghapus jurang yang tercipta dari kejadian di air terjun tempo hari.

Jalanan beranjak ramai ketika mereka sampai di tujuan. Ava melambaikan tangan pada Indira yang tersenyum ke arahnya. "Hati-hati!" teriak Ava, dan dibalas Indira dengan juluran lidah di atas wajahnya yang menggemaskan. Dua orang itu belum menyadari, pagi itu jantung masing-masing melewatkan detaknya sekali.



Jangan lupa Like and Comment.
Thanks.

                                                             Coffie...?

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang