Fragmen 6

1.2K 14 1
                                    

Long Road to Heaven

Kadek bercerita bahwa dulunya keluarga Pak De terdiri dari 4 orang. Pak De, Julia-ibu Indira, Raka, dan Indira sendiri...

In the beginning there was only happiness. For the time, it was good...

Pak De bukan berasal dari keluarga seniman, bakat seni yang mengalir di dalam darahnya murni karunia Dewata dan hasil kerja keras Sang Maestro selama bertahun-tahun. Ayah Pak De sendiri keturunan bangsawan, seorang tuan tanah ternama dari Buleleng yang memiliki berhektar-hektar perkebunan cengkeh dan kopi. Oleh beliau, Pak De disekolahkan di The Art Institute of New York. Di sinilah ia berkenalan dengan Julia, ibunda Indira, seorang mahasiswi jurusan musik berdarah Australia. Tak butuh waktu lama sampai api asmara saling memercik dan membara di antara keduanya.

Kembali ke Indonesia, Pak De berpetualang menimba ilmu dari Maestro-maestro lukis Indonesia; Affandi, Basuki Abdullah, sampai akhirnya Pak De dan Julia menetap di Ubud dan berguru pada pelukis sepuh yang mendiami pedesaan yang konon disebut sebagai kampung para seniman itu.

Raka, putera pertama Pak De, bocah jenius yang digadang-gadang mewarisi bakat seni Sang Maestro. Di usia ke 10 Raka sudah bisa menguasai teknik menggambar perspektif yang biasanya menjadi mata pelajaran SMA, bahkan mahasiswa seni rupa. Menginjak remaja, Raka sudah piawai membuat sketsa wajah bahkan hingga sulit dibedakan dengan aslinya. Untuk itu Sang Maestro pantas bangga.

Sementara Indira mewarisi kecantikan dan keceriaan sang ibu. Sejak duduk di sekolah dasar Indira sudah terbiasa kemolekan tubuhnya diabadikan dalam kanvas menemani ibunya. Kadang masih mengenakan secarik selendang yang disampirkan di kewanitaan, kadang malah tanpa busana sehelaipun, seperti layaknya signature karya-karya Sang Maestro yang mulai dikenal dengan keindahannya dalam memotret tubuh polos manusia dalam media kanvas dan akrilik.

Di pertengahan tahun 90-an, Dewa Gede Subrata, alias Pak De mulai terkenal sebagai seniman aliran realis yang karya-karyanya diperhitungkan di kancah seni rupa Indonesia, bahkan Mancanegara. Beliau mulai diundang sebagai pembicara dan pemateri di kampus-kampus mentereng seperti ITB dan IKJ. Karya-karyanya mulai dipamerkan di mancanegara dan ditawar dengan harga yang tidak pernah disangka-sangka!

Seolah-olah kebahagiaan keluarga kecil itu akan berlangsung selamanya. Namun, manusia terkadang lupa. Kebahagian, kesedihan, hanyalah roda yang saling balik membalik. Segala yang berwujud akan menemui akhir.

"....tapi semuanya berubah semenjak kakak dan ibunya Indira... meninggal..." ujar Kadek getir, menutup ceritanya. "Aku juga sedih, Va... semenjak itu hidup Pak De dan Indira nggak pernah lagi sama seperti dulu..."

"Kakak dan ibu Indira...," takut-takut Ava bertanya. "Meninggal.... kecelakaan?"

"12 Oktober 2002," desis Kadek.

Kadek hanya menyebut urutan tanggal dan tahun yang nyaris tak bermakna. Namun bagi yang mengikuti perkembangan berita di tanah air, pasti akan langsung mengetahui persis apa yang terjadi di pulau Dewata pada tanggal tersebut. Kemarahan Indira yang tanpa sebab. Sebutan teroris. Wajah brewok. Kematian kakak dan ibu Indira. Kini semuanya menunjukkan titik terang.

Dari mana logikanya manusia bisa mencari jalan pintas menuju Surga dengan mengorbankan ratusan manusia yang lain? 10 tahun sudah berlalu, namun pertanyaan itu terus menghantui Indira.

Usia Indira baru 7 tahun, ketika kakak dan ibunya direnggut bersama dengan ratusan lain yang meregang nyawa. Indira masih terlalu muda untuk memahami bahwa yang terjadi hanyalah salah satu dari mata rantai kebencian yang tidak pernah putus. Pembantaian Sabra dan Shatilla dibalas dengan peledakan bom mobil di Tel Aviv. Penghancuran menara kembar WTC dibalas dengan nyawa anak-anak yang meregang terkena bom di Kandahar. Darah dibayar darah. Nyawa dibayar nyawa. Ratusan millenia berlalu semenjak Kain dan Habel saling menumpahkan darah di bumi untuk kali pertama, tapi manusia seolah tak pernah puas menuntut darah sesamanya.

Tentu saja, semua pertanyaan itu terlalu filosofis dan luas untuk dipahami remaja seperti Indira. Gadis kecil itu kehilangan keluarganya, dan itu saja sudah cukup untuk menjadikan sang bidadari menjadi salah satu mata rantai yang meneruskan kebencian di muka bumi.



"Ajik(Bapak), Indira mau ngomong!"

Sang Maestro sedang asyik melamun sambil menghisap rokok kretek, ketika puterinya yang datang dengan pinggang berkacak. Tak langsung menjawab, lelaki tua itu terbatuk-batuk sejenak, tersedak asap rokoknya sendiri.

"Ada apa, gek?(Sebutan perempuan yang lebih mudah)" tanya Pak De ketika batuknya berangsur mereda.

"Kenapa harus Ava, Jik... kenapa Ajik memilih dia jadi murid Ajik?" tanya Indira tajam. Suaranya sudah bergetar menahan luapan emosi yang membuncah di dadanya. Namun anak itu berusaha tetap tenang dan duduk di kursi persis di hadapan ayahnya.

"Kenapa, kamu nggak suka sama Ava...?"

"Seharusnya Ajik menyelidiki latar belakang calon murid Ajik, sebelum membiarkan mereka tinggal di rumah kita." Indira terdiam sejenak. Memandangi mata ayahnya dalam-dalam. "Ajik nggak tahu? kalau Ava itu..."

Terdengar helaan nafas berat dari bibir Sang Maestro yang dirimbuni brewok lebat, ketika mulai menangkap ke mana pembicaraan ini akan mengarah.

"Gek, 10 tahun sudah lewat, sampai kapan kamu terus seperti ini?" Pak De berujar pelan, balas menatap Indira dengan prihatin.

Indira mendengus kesal. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya mau menerima teroris seperti Ava. Remaja itu protes keras, namun keputusan ayahnya sudah bulat. Beliau malah menasihati Indira agar bisa melupakan masa lalu. Sungguh, bagi gadis remaja seperti Indira, kata-kata ayahnya itu seperti sembilu yang disayatkan ke hatinya!

"APA AJIK SUDAH LUPA PADA ORANG-ORANG YANG TELAH MEMBUNUH MAMA?!"

"Gek! Ava itu tidak ada sangkut pautnya dengan kematian kakak dan ibumu!"

"NGGAK ADA SANGKUT PAUTNYA? MAMA DAN KAK RAKA JUGA NGGAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN PEPERANGAN MEREKA!"

Indira menggebrak meja di hadapan ayahnya. Dari dulu ia ingin melakukan hal itu kepada lelaki yang setelah kematian kakak dan ibunya malah lebih menenggelamkan diri dalam dunia lukis ketimbang menemani dirinya.

"GEK! KAMU JANGAN KURANG AJAR SAMA ORANG TUA!"

"BIAR! POKOKNYA AJIK HARUS MILIH! AVA YANG PERGI! ATAU INDIRA YANG PERGI!" jerit Indira geram lalu membanting pintu ruang kerja ayahnya.

Pegawai-pegawai Pak De segera berkerumun melihat perkelahian ayah dan anak itu, namun semuanya lebih memilih diam dan menyaksikan Indira yang menyambar helm dan kunci motornya. Tak ada satupun yang berani menghentikan Indira ketika anak itu membunyikan gas kencang-kencang, lalu memacu motornya keluar gerbang dengan kecepatan tinggi.

Lelaki tua itu hanya bisa berkali-kali menghela nafas, menyaksikan putri semata wayangnya lepas kendali. Ketidakpedulian ternyata bisa menjadi bom waktu yang meledak setelah sekian lama.

Dengan tangan bergetar, Sang Maestro menyalakan sebatang rokok untuk menggenapi 9 lain yang sudah terlebih dahulu menjadi puntung. Dalam-dalam, dihisapnya segala partikel tar dan nikotin hingga memenuhi paru-parunya, sebelum dikeluarkan dalam hembusan nafas yang diiringi batuk berkali-kali.

Ada sebuah lukisan istimewa di dalam ruangan kerja Pak De yang dipenuhi buku-buku, ukiran antik, dan piringan hitam. Lukisan berukuran besar yang selama ini dibiarkan tertutup kain putih di sudut ruangan. Perlahan, Pak De mendekati lukisan tersebut, lalu mengibaskan penutupnya yang berdebu. Terdengar suara batuk ketika tabir yang menutupi lukisan setinggi 2 meter tersebut tersibak. Hening. Desah nafas terdengar menghembus ketika lukisan itu sepenuhnya terbuka.

Di hadapan Sang Maestro kini berdiri sebuah lukisan seorang wanita cantik berkulit putih yang mengenakan kebaya Bali. Ada aura mistis yang meruap dari lukisan itu, entah apapun itu. Aura yang hangat tapi juga merindingkan bulu roma seolah sosok di dalamnya masih memiliki jiwa. Renjana melarutkan Pak De dalam sebuah dunia serba magis di mana ruang dan waktu tak lagi banyak berarti. Di mana dia, istrinya, Raka, dan Indira masih bisa saling memeluk sebelum lelap tertidur.

Tidurlah yang nyenyak, kata kau dulu. Tidurlah yang lelap, katamu selalu. Barangkali dalam mimpi, kita bisa bertemu kembali...








Jangan lupa Like dan Comment.
Terima kasih.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang