Fragmen 20

1.2K 7 0
                                    

                          Verdure (part 1)

Sheena mengerjap terjaga. Hal terakhir yang diingatnya adalah ketika semalam ia menenggak bergelas-gelas arak hingga harus diantar pulang oleh Bob. Namun pagi ini, ia mendapati dirinya sudah terbaring dengan selimut di kamar kostnya. Di sebelah kepalanya terlipat kertas putih, dengan 5 lembar uang merah disertai tulisan :

“Kemaren gw dapet rejeki jualan daun singkong…cuma segini yang bisa gw bantu. Hey little sister, dont shed no tears… Everything is gonna be alright.”

Bob

PS : ga usah di balikin.

Uang itu memang jauh dari cukup untuk melunasi hutang-hutangnya. Namun itu saja sudah cukup membersitkan senyum kecil di bibir Sheena.

Matahari belum terbit benar, sehingga masih menyisakan pengap gelap yang menyelubungi gang-gang sempit yang disesaki rumah-rumah petak kecil di balik gedung-gedung tinggi di bilangan Kuta Utara.

Seorang wanita paruh baya sudah berpakaian rapi dengan kain dan selendang melingkar di pinggangnya. Menghaturkan dupa dan sembah takzim di Pura kecil di depan rumahnya. Beberapa karyawan hotel mulai beranjak dari rumah-rumah petak di gang itu. Sheena menyalakan rokok, memandangi manusia-manusia yang mengejar asa di tengah hiruk pikuk Kuta yang baru memulai denyutnya.

Sinar fajar yang mulai berkilau dari balik cakrawala seperti memberikan harapan baru bagi para pemimpi. Sheena tersenyum, menyadari dirinya tak sendiri menjalani semua ini. Dihirupnya udara dalam-dalam, membiarkan udara pagi memenuhi paru-parunya. Hopes will prevail!

######

Awan kelabu memayungi Ubud pagi itu. Namun para petani sudah berangkat ke sawah untuk memanen padi yang masih terbungkus warna monokrom yang cukup pekat.

Sebuah mobil Volkswagen New Beetle warna putih melintas layaknya kereta kencana melewati jalan desa yang masih asri, menyusur hati-hati saat memasuki areal persawahan dengan villa-villa yang berleret di pinggirnya.

Pengemudinya berkendara pelan, menghindari beberapa turis yang sedang bersepeda di tempat itu. Sekilas ia memandang wajahnya yang terpantul di kaca depan. Wajah tampan dengan jahitan di pelipis kiri. Dewa.

Pagi itu didapatinya Indira sedang menunggu di depan rumah, tersenyum cerah dengan baju seragam sekolah. Dewa balas tersenyum melihat bidadarinya, namun seketika senyum itu terasa hambar karena Indira juga melambaikan tangan ke arah lelaki brewok yang merokok di teras, lelaki yang membuat pelipisnya dijahit. Ava.

“Dadah Avaaaa!” Indira menjerit girang, melambai-lambai jenaka ke arah Ava.

Ava melambai lesu, menatap kosong ke arah Indira yang berlari kecil menuju sang kekasih.

Sebagai sesama lelaki, Dewa tentu sangat memahami arti tatapan Ava pada kekasihnya. “Yuk, nanti telat,” Dewa berkata, lalu melingkarkan lengannya di pinggang Indira. Sengaja ia berlama-lama agar Ava bisa menangkap isyaratnya: Jangan macam-macam dengan Betina milik Pejantan Alfa.

Indira naik ke dalam mobil. Dewa melirik ke arah Ava, tersenyum puas sebelum memacu mobilnya, meninggalkan Ava sebagai pejuang yang kalah perang.

I'm putting out reasons
and see how far it'll go

Go waste your time
with those heart...

Ava tersadar, pagi ini sebuah mimpi harus berakhir ketika ia terjaga. Ava harus menerima kenyataan bahwa Indira dapat lebih bahagia bersama Dewa daripada bersamanya.

Pemuda itu membasuh wajahnya dengan air. Ada sebuah kamar mandi kecil yang terpisah dari bangunan utama, semi terbuka dengan bak mandi terbuat dari gentong tanah liat, Ava termanggu di dalamnya, memandangi sesosok raut brewok di dalam cermin. Andaikan dirinya memiliki wajah setampan Dewa, Ava mengutuk dalam hati. Meraih sebuah mata pisau di dekatnya.

Coldheart razorblades,
Flesh from the lovers

words about tomorrow,
feels so far away

Hopes will prevail
and we'll be ok now
But the morning is too dark
(the morning is too dark)

Summer i'll wait for you!
Winter i'll wait for you!

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang