Fragmen 29

968 7 0
                                    

Bidadari dan Pelukis Mimpi

Malam semakin menua dan membuai satu persatu penghuni villa ke dalam lulabi. Sayup-sayup hanya percakapan dua orang dari dalam studio lukis yang terdengar. Sepasang asap rokok mengepul dari dua orang laki-laki yang berbincang akrab layaknya sepasang ayah dan anak. Sementara sepasang lagi terlibat perbincangan intim di bale-bale kayu.

Kejadian sore tadi membuat keduanya lebih intim dari biasa. Indira mengambil tempat duduk di samping Sheena, melingkarkan sepasang tangannya di pinggang cewek tomboy itu, membolak-balik puluhan sktesa yang telah digambar sang seniman muda selama berada di tempatnya.

Derik jangkrik terdengar sayup mengiringi Ubud yang berubah sunyi begitu menginjak jam 10 malam. Ava dan Pak De tengah sibuk berdiskusi di studio, dan pembantu rumah tangga villa memilih menghabiskan waktu menonton televisi dalam bilik masing-masing.

Dan kesunyian seperti temali yang menautkan keduanya lebih erat, lebih lekat lagi

"Hayo, tadi sore nakal, ya," rengek Indira manja, memukul pelan lengan penuh tato yang perlahan memeluknya.

"Untung nggak dilihat ajik."

"Salahnya sendiri," Sheena mengekeh cuek, membuat Indira semakin penasaran dibuatnya. Dikecupnya pipi Indira sekali, namun kali ini anak itu hanya mengekeh sambil meronta jenaka.

"Kalo gitu kak Na harus tanggung jawab!" Indira lalu membisikkan sesuatu di telinga Sheena.

Tawa keras segera menyembur.

"Thanks, tapi aku suka cewek yang lebih tua,' jawabnya enteng, lalu kembali menyibukkan diri dengan sketsanya.

Indira mengikik melihat wajah Sheena yang berlagak cool tapi sebenarnya bersemu kemerahan.

"Sok jual mahal, ah!" dicubitnya pinggang Sheena.

"Kak Na mau kopi nggak? Indira mau bikinin kopi buat Ajik sama Ava."

"Hmmmh," jawab Sheena pendek. Indira melengos lucu, mengambil salah satu buku sketsa yang tergeletak di dekatnya.

Berbaring di atas pangkuan Sheena,Indira membolak-balik lembar demi lembar buah karya sang seniman muda.

"Kenapa semua gambarnya Kak Na hujan, sih?" Indira menunjuk lembaran-lembaran sketsa yang selalu dilatari hujan yang tak pernah putus.

Sheena cukup mengangkat bahu, meneruskan kegiatannya membuat sketsa di bale-bale. Pak De seringkali mendorong agar Sheena lebih sering melukis dengan media kanvas dan akrilik, tapi seniman muda itu nampaknya lebih menyukai buku sketsa dan pensil arangnya.

Menurutnya, efek monokrom dapat memberikan tambahan nuansa muram di mana dunia dipotret hanya dalam dua warna.

Sebuah mahakarya, batin Indira menakjubi. Sketsa sang seniman muda nampak seperti adegan-adegan film noir tahun 50-an yang digambar hiper-realis hingga mendekati aslinya. Gambar-gambar itu memang sekilas nampak acak, namun jika diperhatikan baik-baik sebenarnya satu sama lain saling berjukstaposisi membentuk jalinan cerita.

Awan. Nama itu adalah satu-satunya titik di mana dongeng mereka bertemu. Sheena pernah bercerita tentang teman masa kecilnya itu. Hanya sahabat, sampai saat ini Sheena selalu mengatakan itu kepada Indira, meski dirinya tahu hubungan keduanya lebih dari itu.

###

Flashback on

" Wirawan, panggil saja Awan."

"Aku Sheena Rainia."

"Aku nggak pernah lihat kamu pas MOS?"

"Iya, waktu itu aku sakit."

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang