Fragmen 40

975 8 0
                                    

Pacar Imitasi

Hanyalah lantun kidung, yang bercengkok dan meliuk merdu di antara pucuk-pucuk cemara. Sinar senja menyeruak dari sela dedaunan, membentuk garis-garis jingga di udara -seperti kilauan ribuan lampu sorot- yang menerangi gerak lincah beberapa penari.

Ava berdiri tak berkedip, memandang takjub ke arah penari yang meliuk, melirik-lirik, dan menggerakkan jemari. Sementara beberapa lelaki bersila khusyuk, melantunkan nyanyian yang mirip tembang 'kidung Wargasari' lagu pujaan yang biasa dilantunkan umat Hindu.

Ava tercenung lama, sebelum menyadari bahwa syair kidung tersebut disampaikan dalam bahasa Arab, bukan bahasa Bali atau Jawa Kuno.

Malah lamat-lamat Ava bisa menangkap bahwa yang tengah dilantunkan itu adalah Shalawat, puji-pujian untuk Rasulullah SAW. Juga tak ada tetabuh gong atau gamelan, hanya rebana yang dibunyikan bertalu-talu.

"Ini tarian apa, pak?" Ava bertanya pada bapak-bapak di sebelahnya.

Bapak-bapak berpeci itu tersenyum, sebelum menjelaskan. Inilah Burde, kesenian khas Desa Pegayaman, desa kecil yang terhampar di lereng Bukit Gitgit, satu di antara jajaran pergunungan yang memagari Bali Utara dengan daerah selatan.

Sehari setelah hari raya Galungan yang biasa disebut dengan Manis Galungan, umat Hindu di Bali biasanya berkunjung ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan selamat, sekaligus mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu.

Maka berangkatlah Ava menemani Lucille dan Indira, menginap semalam di Pegayaman, kampung halaman Pak De yang berhawa dingin dan dikelilingi hutan hujan tropis.

Hari ini, di antara kerumunan manusia dan dua budaya yang membaur menjadi satu padu, Ava berdiri, merenungi. Memulai sebuah babak baru dalam perjalanan panjang menuju: Paradiso.

###

Desa Pegayaman terletak di ketinggian 900 m di atas permukaan laut, membuatnya berudara sejuk dan cocok ditanami cengkeh dan kopi. Wilayah ini ditinggali 5.600 jiwa dengan 90% di antaranya beragama Muslim, dari 10% penduduk yang beragama Hindu, salah satunya adalah keluarga besar Dewa Gede Subrata, alias Pak De, Sang Maestro.

Sore itu Indira sedang duduk di balai kayu yang dipenuhi kue kering dan sesaji, sisa perayaan Galungan sehari yang lalu.

Lucille menemaninya bersantai di rumah tradisonal Bali yang masih tampak asli, terdiri dari banyak kompartemen, bale-bale, dan Pura kecil yang terpisah-pisah dan dihubungkan dengan jalan tanah.

"Gimana kabar Ajik?"

"Sehat, tadi pagi nelepon, suaranya sudah segar banget, hehe!"Indira tersenyum, memandangi hamparan hijau pohon kopi dengan bunga-bunga putih yang bertaburan di atasnya, membentang luas mengitari rumah sampai bukit kecil di ujung sana.

"Syukurlah." Lucille, menghela nafas lega, hendak beranjak ketika beberapa anak perempuan berjilbab bunga-bunga memasuki pekarangan, berjalan takut-takut karena seekor anjing yang tak berhenti menyalak dirantai di pohon.

Indira menghampiri, anak-anak itu tersenyum lega menyodorkan sekeranjang ketupat yang masih hangat.

"Kami mau ngejot, dari Pak Wayan Muhammad." kata seorang anak yang paling lucu.

Sekedar info

Warga Muslim menetap di sini semenjak abad ke-15, saat Raja dari Solo (Mataram Islam) menghadiahkan seekor gajah dan 80 prajurit kepada Raja Buleleng sebagai tanda persahabatan. Para prajurit dari Jawa Tengah ini kemudian ditempatkan di Desa Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan raja-raja Bali Selatan. Mereka kemudian menetap dan berbaur dengan penduduk desa lainnya.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang