Fragmen 43

1.5K 7 0
                                    

The Unspoken

Hanya hening pagi dan desahan nafas berat yang terdengar ketika Sheena memandangi tabung kecil di telapak tangannya. Mendung hitam bergulung makin tebal memayungi perkampungan padat yang dibelah sungai Badung. Hujan di daerah hulu nampaknya membuat permukaan air beriak deras dan keruh.

Sheena melanjutkan kegiatannya tanpa bersuara, mengepak pakaian dan peralatan lukisnya ke dalam tas ransel karier besar, hingga yang tersisa di dalam bilik sempit itu hanya sebuah amplop cokelat dan tabung kecil yang digenggamnya sedari tadi.

"Elu yakin, Na?"

Sheena mengangkat bahu.

"Jujur. Enggak."

Dirinya memiliki hutang pada lintah darat, Sheena belum lupa akan hal itu. Boss Jay, seorang pengusaha hitam yang membawahi 'koperasi' tempatnya berhutang adalah tokoh dunia hitam yang disegani di Jakarta. Terakhir kali kedai tatonya diobrak-abrik oleh preman-preman suruhan Sang Godfather. Itu pula yang membuat Sheena terpaksa bersembunyi di tempat Pak De.

Selama 6 bulan, Sheena mengisi sedikit-demi sedikit pundi-pundinya melalui honor model lukisan Sang Maestro. Hingga kini perempuan berambut pendek itu bisa menimbang-nimbang amplop tebal di tangannya.

Dan ia hanya berharap, semoga segepok uang di dalamnya cukup untuk melunasi hutang-hutang yang semakin hari semakin berbunga.

"Tapi, setelah peristiwa kemaren! apa elu pikir mereka bakal ngelepasin elu begitu aja? Lagian elu punya hutang main kabur aja," Bob berkata sambil menggaruk-garuk rambut gimbalnya.

"Terus, gue harus gimana, Bob? Kabur lagi? Gue udah capek terus-terusan melarikan diri."

Sheena meletakkan rol film itu di atas meja. 10 tahun sudah dirinya melarikan diri dari masa lalu, dan benda itu adalah penyangkalan terakhir Sang Pengukir Perih atas rasa sakit yang selalu membuntuti, mengikuti.

"Bob, siang nanti gue mau ke kantor mereka, mau bayar hutang-hutang gue." Sheena menelan ludah.

"Kalau misalnya ada apa-apa sama gue, tolong kasih rol film itu ke Ava."

"Na, ah! Elu jangan ngomong ngawur, ah...," sambar Bob cepat.

Sheena tersenyum getir. Mendung gelap yang kian menggantung mulai mencurahkan jutaan rintik hujan.

"Hidup ini nggak lama, Bob! kita semua cuma mampir!"Sheena berkata, dan langit seketika berguruh, mengamini.

###

Suara guruh terdengar menggelegar, seperti overture sebelum langit mulai memainkan orkestranya. Rintik gerimis yang sedari pagi memayungi desa kecil di lereng gunung itu kini digenapi dengan hujan deras yang membentuk tirai kelabu, menjadikan bukit hijau di hadapan Ava hanya diwarnai dalam dua warna, monokrom.

Sang seniman muda duduk di atas kursi rotan, memandangi langit dan hujan yang semakin deras turun. Tangannya bergerak lincah di atas buku sketsa, membuat garis-garis dan arsiran pensil arang di atas kertas putih.

"Gus,! silahkan diminum kopinya." Seorang laki-laki paruh Baya meletakkan secangkir kopi, juga sepiring pisang goreng dengan asap yang masih mengepul di atas meja rotan.

"Ini kopi Luwak, pokoknya dijamin jaen ," Ia menambahkan.

Ava tersenyum kecil, merasa sungkan diperlakukan seperti itu.

"Suksma, pak!"

"Jangan sungkan-sungkan, kamu kan sudah masuk jadi anggota keluarga kami! Ngomong-ngomong, Indira mana ya?"

"Masih di kamar," Ava berkata pelan, menghela nafas berat.

Melihat bagaimana keluarga Indira menerimanya, membuatnya berpikir bahwa dirinya mungkin sudah melangkah terlalu jauh.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang