The Pain Carver
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.
Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.
Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.
Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira menjadi berlipat-lipat. Ia hendak memacu motor kencang-kencang, namun kemacetan itu membuat jarum speedometernya hanya berhenti di angka 10.
"Ummmh!" Indira benar-benar kesal. Mengapa semua orang tidak mengerti dirinya? Mengapa semua orang bertindak semaunya? Biarlah! Karena siang ini ia pun akan bertindak sesuka hatinya!
Sepasang lelaki berpelukan mesra, melintas tiba-tiba di depan Indira. Indira mengerem mendadak, sambil melotot ke arah mereka. Namun sepasang kekasih itu melenggang bebek dengan kemayu.
Indira kesal. Siang ini ia sangat kesal!
Skuter matic yang dikendarai Indira bergerak memasuki Jl. Poppies II yang sempit -lebih mirip gang- dengan leretan toko yang menjual suvenir dan pub yang belum buka di kiri-kanannya. Hiruk pikuk taksi dan motor bebek yang dipasangi papan selancar membuat remaja itu terpaksa melambatkan motornya sambil terhuyung sesekali.
Menghubungkan jalan Legian dan jalan Pantai Kuta yang memanjang di tepian pantai paling tersohor di pulau Dewata, Gang Poppies II terkenal sebagai tempat singgah backpacker dari seluruh dunia. Penginapan murah meriah, rumah makan, bar, minimarket, toko souvenir, tempat massage, beragam distro. Semua tumpah ruah memenuhi gang sempit dengan lebar tak lebih 5 meter itu.
Sebenarnya Indira hanya berniat memintas jalan menuju Beachwalk, mall yang baru saja dibuka di pinggir pantai Kuta. Namun, ketika melewati sebuah Tattoo
Parlor bertuliskan "Angel With the Dragoon Tattoo", ada sebuah dorongan tak kasat mata yang membuat remaja itu mendadak menepikan motornya. Ada sesuatu yang berbeda di antara foto-foto seni rajah kulit yang dipajang di etalase, namun dirinya tak tahu persis apa. Hingga tanpa sadar, perlahan amarahnya menyurut dan berganti sebentuk rasa penasaran yang menggelegak....
Janin bayi... tengkorak bidadari... pola-pola ganjil yang membentuk geometri yang membingungkan... Semakin lama Indira memandangi leretan gambar warna-warni di hadapannya, semakin hatinya tergerak untuk memasuki studio tato tersebut. Mungkin kebetulan, batin Indira, memberitahu dirinya sendiri. Meski ia sendiri mengerti, bahwa tak ada yang kebetulan dalam konstelasi alam semesta...
Hati-hati Indira membuka pintu, dan gendang telinganya seketika disambut bunyi dentum irama punk yang menyalak rancak. Seorang wanita berambut pendek sedang duduk di reclining seat di tengah ruangan, nampak sibuk merajah punggung tangannya sendiri dengan kurva dan berbagai warna.
"Hoi," sapanya enteng begitu melihat Indira mendekat takut-takut. "Mau buat tato? Bentar ya, boleh nggak, gue nyelesain ini bentar? Elu lihat-lihat aja dulu gambarnya," jawabnya cuek, lalu melanjutkan menyelesaikan memberikan titik-titik gradasi pada tato yang baru digurat di punggung tangannya. Suara denging elektrik keluar seiring pedal kaki yang diinjak sesekali, bercampur baur dengan suara Joan Jett yang berdentam dari speaker yang tertanam di sudut-sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradiso
FanfictionCarita ini bukan ane yang buat, ane hanya membantu shere cerita ini. Bagi yg berminat membaca cerita ini silahkan. Cerita ini, bercerita tentang 3 anak manusia memiliki masa lalu yang sama. Ava, Indira Sheena. Dari persilangan takdir ketiganya, munc...