Fragmen 4

1.6K 20 1
                                    


Kontroversi Hati

Sebulan sudah Ava menjadi murid Pak De, seorang pelukis terkenal tempatnya menimba ilmu, di desa kecil di pinggiran Ubud. Di tempat itulah Ava ngayah; mengabdikan diri sebagai balas budi atas pengalaman yang nantinya akan diturunkan Sang Maestro kepada muridnya.

Kehidupan di tempat barunya itu berlalu nyaris tanpa kesan berarti, -jika tak ingin dibilang monoton; bangun tidur, tidur lagi, bangun lagi, berebut tempat mandi dengan Indira, menjaga galeri, membantu Pak De melukis, disuruh ini-itu. Mungkin saja Ava bakal mati bosan jika tak ada Indira, putri semata wayang Pak De, karena tiap hari pasti ada saja yang mereka pertengkarkan.

"Harusnya cuma aku yang boleh mandi di sini!" repet Indira seperti biasa ketika mendapati Ava sedang berjongkok telanjang sambil menyabuni tubuhnya di sungai belakang rumah.

Hari belum bisa dikatakan pagi karena matahari masih bersembunyi di balik cakrawala. Langit baru diwarnai dengan gradasi biru bercampur jingga, dan bintang-bintang masih tersangkut di antara awan. Namun Ava dan Indira sudah memulai perseteruan mereka yang pertama di hari itu.

Sebenarnya Indira sudah tahu, sia-sia saja memperingati Ava agar tidak mandi di tempat ini. Namun dirinya juga tidak habis pikir, betapa hari-harinya seolah tak lengkap jika tidak dimulai dengan berseteru dengan pemuda yang memegang teguh prinsip 'maju terus pantang waras' itu.

"Denger orang ngomong nggak, sih? Tempat ini tuh udah jadi kaya tempat pertapaan aku, tahu!" omel Indira dengan pinggang berkacak di atas tangga batu. Sebelah tangannya sudah menenteng peralatan mandi dan di lehernya sudah bergantung handuk, melengkapi kaus barong longgar warna marun dan celana pendek ketat bunga-bunga.

Indira sebenarnya sudah bersiap mandi pagi ini. Gadis itu sengaja bangun pagi-pagi sekali, berharap Ava belum bangun sehingga ia bisa menguasai spot mandi favoritnya itu. Tapi apa lacur, di hadapannya kini terbentang pemandangan cowok brewok yang sedang menyabuni ketiak yang penuh bulu.

"Iye, Mbah..." jawab Ava asal. "Cari tempat bertapa yang lebih mbois, kek... Gua Selarong... Makam Keramat Mbah Jingkrak..."

"Bego! Buruan, gih! Aku juga mau mandi! Aku mau sekolah!"

"Sekarang kan hari Minggu."

"Bego!"

"Di atas kan udah ada kamar mandi dalam!"

"Udah aku bilangin berapa kali juga, beda tahu sensasinya!"

"Iye... iye... " Ava mejawab sekenanya.

Indira menunduk dengan wadah merah padam. Nyebeliiiiin! Siapa yang naksir kamu, begoooooo! Indira menggondok dalam hati. Dirinya memiliki cowok keren yang jadi pacarnya, dan ada segudang lagi yang rela mengantri hanya untuk makan malam dengannya. Bagaimana bisa cowok brewok yang tak ada ganteng-gantengnya itu berani-berani membuatnya ketar-ketir dan salah tingkah?!

Indira tidak bisa diam saja, gengsinya sebagai cewek terkece di sekolah dipertaruhkan kini! Apalagi, Ava malah sengaja merayakan kemenangannya dengan menceburkan diri di ceruk batu di bawah air terjun -spot favorit Indira- dan tertawa puas setelah berhasil mengerjai gadis itu untuk kali kesekian.

"Dira jangan cemberut gitu, dong... Sini, ikutan mandi... Kita belajar berbagi, hahaha..." ledek Ava sambil berenang-renang di dalamnya.

Ini tidak bisa dibiarkan, batin Indira geram. Ia harus menunjukkan pada Ava, bahwa anak SMA seperti dirinya pun bisa melakukan tindakan radikal! Indira mengggembungkan pipi. Berpikir keras bagaimana cara membalas untuk menyamakan skor. Indira tak pernah tahu kapan saatnya setan-setan yang bersemayam di dalam lubuk pikir membisikkan 'ide gila' yang sebelumnya tak pernah terpikirkan, bahkan untuk ukuran gadis 'senakal' Indira!

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang