Fragmen 8

1.1K 9 1
                                    

                 Streets Without a Signs

Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.

Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.

Seorang wanita dengan dandanan rocker menenteng hardcase berisi gitar di depan Pub bertuliskan The Crossing Fate. Sejenak ia tertegun, memandangi hamparan kerlap-kerlip cahaya di hadapannya. Sulit dipercaya betapa tempat itu kini kembali seperti semula, bahkan lebih gemerlap dari sebelumnya. Orang-orang mungkin lupa, atau berusaha melupakan bahwa di atas tempatnya berdiri, neraka pernah dibawa ke dunia demi untuk mengejar sebuah angan-angan semu bernama 'surga'.

Perempuan berambut pendek itu tersenyum getir, meraba bekas luka bakar yang memanjang di lengan kirinya yang kini tersembunyi di balik rangkaian tato Inferno-Purgatorio-Paradiso. Sheena tak pernah menyukai menjejakkan kaki di tempat ini, tidak untuk sedetikpun. "Tapi melarikan diri nggak akan menghilangkan rasa sakit, kan?" Sheena berkata dalam hati, menekankan pada dirinya sendiri.

10 tahun yang lalu dirinya terpaksa meninggalkan Pulau Dewata. Masih 15 tahun usianya ketika peristiwa itu terjadi. Masih terbayang jelas di benak Sheena, bahkan sampai detik ini, betapa jalanan ramai tempatnya berdiri saat ini pernah berubah menjadi lautan api. Pecahan kaca berterbangan. Mobil-mobil remuk redam. Di tengah warna merah itu ia seolah masih bisa menyaksikan tubuh-tubuh hangus yang bergelimpangan.

Sheena memejamkan matanya, namun yang terkilas hanya warna merah menyala dan api yang berkobar-kobar.

Inferno
Purgatorio
Paradiso

Pelan-pelan sesuatu dari masa lalu bergerak merasuk dari rerajahan di tangan kirinya, dan perlahan memenuhi dadanya yang kian sesak. Sheena memalingkan pandangan, kepalanya mendadak terasa berdenyut-denyut.

"Ava? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"

"Enggak, Dek... aku nggak tahu... kenapa... kepala aku pusing..." Pemuda brewok itu berkata sambil memegangi kepalanya. Entah kenapa, sepulang dari kerja bakti di Pekuburan tadi pagi, kepalanya terasa semakin pening saja.

"Minum ini dulu, Va," Kadek berkata seraya menyodorkan segelas air putih dan Aspirin yang barusan dibelinya di apotek.

Duduk di tikar pandan di emperan toko, sebenarnya Kadek hendak mengajak Ava berjalan-jalan menikmati kota Denpasar. Kesibukan di tempat Pak De nyaris tidak menyisakan waktu bagi Ava untuk mengunjungi tempat lain kecuali studio dan galeri. Apalagi beberapa bulan ke depan Sang Maestro hendak menggelar pameran tunggalnya di luar negeri. Hanya beberapa hari di akhir pekan, itu pun hanya sesekali, Kadek berkesempatan mengajaknya berjalan-jalan menikmati suasana Pulau Dewata di malam hari.

Ava dan Kadek mengisi perut dengan makan Nasi Jenggo di emperan pertokoan di dekat Bioskop Wisata. Nasi Jenggo adalah sejenis nasi bungkus porsi kecil yang dibungkus daun pisang, berisi lauk telur ½ butir, suwiran ayam, oseng kacang, dan sambal yang pedas. Sejenis nasi kucing di tempat kelahirannya. Ava sedang lahap makan ketika kepalanya mendadak terasa pening, entah kenapa.

"Kamu itu... makanya... aku bilangin jangan ngelamun jorok di Kuburan! Bisa ketempelan!" kata Kadek, setengah berkelakar.

Ava menanggapinya dengan tersenyum kecut. Lawan bicaranya menghela nafas, dalam hati Kadek menyadari anak itu lebih banyak melamun setelah ia menceritakan tentang masa lalu Indira. Bukan salah Ava tentu saja, namun tetap saja, siapa yang bisa nyaman dipersalahkan atas kejahatan yang tak pernah dilakukannya?

Indira hanya sempat kembali sebentar sore tadi. Belum sempat Ava menjelaskan duduk perkaranya, Indira sudah berangkat lagi, dijemput dengan mobil oleh sang kekasih.

Kadek memutuskan mengajak Ava berjalan-jalan ke Kuta, siapa tahu anak itu kembali bersemangat jika diajak melihat bule-bule seksi. Tak lama berselang, skuter Kadek sudah menyelinap di antara belantara kemacetan Pulau Dewata. Suara knalpotnya yang nyaring seolah ingin bersaing dengan dentum house music dari klub-klub di sepanjang jalan.

"Kita mau ke mana, Dek?"

"Ada tempat nongkrong enak!"

"Oh ya? Di mana?"

"Pub Crossing Fate!"




Jangan lupa Like dan Comment.
Terima kasih.

ParadisoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang